Rabu, 12 November 2008

SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA

Sistem perpajakan di Indonesia menganut global taxation. Global taxation adalah sistem pengenaan pajak atas penghasilan dengan cara menjumlahkan semua jenis tambahan kemampuan ekonomis dimanapun didapat, di Indonesia dan di luar negeri, lalu atas seluruh penghasilan tersebut diterapkan suatu struktur tarif progresif yang berlaku atas semua Wajib Pajak. (R Mansury 1996:82). Selain Global taxation system, sistem perpajakan di Indonesia juga menganut global schedular taxation dimana menurut sistem ini ada penghasilan-penghasilan tertentu dikenakan tarif sendiri-sendiri berdasarkan aturan yang berlaku. Misalnya pajak atas pendapatan bunga deposito sebesar 20% yang sifatnya final.
Keunggulan Global taxation system adalah system ini pada dasarnya memenuhi konsep keadilan dalam perpajakan, yaitu keadilan horizontal dan keadilan vertical. Keadilan horizontal dimana beban pajaknya adalah sama atas semua Wajib Pajak yang mendapatkan penghasilan yang sama dengan jumlah tanggungan yang sama tanpa membedakan jenis penghasilan atau sumber penghasilan atau biasa disebut equal treatment for the equals. (R Mansury 1996:10), dan keadilan vertikal orang-orang dengan tambahan kemampuan ekonomis yang berbeda dikenakan Pajak Penghasilan yang berbeda setara dengan perbedaannya atau biasa disebut dengan unequal treatment for the unequals (R Mansury 1996:10). Kelemahan sistem ini adalah dapat terjadi double taxation dimana jika penghasilan didapat dari luar negeri dan negeri tempat penghasilan menganut pajak dipungut di negeri sumber penghasilan, maka penghasilan akan dipajaki oleh Indonesia dan negara tempat penghasilan didapat.
Tujuan dari global schedular taxation sebenarnya adalah untuk mempercepat masuknya penerimaan negara dan penyederhanaan administrasi perpajakan. Karena sifatnya yang final atau langsung di potong pajak setiap saat penghasilan tersebut timbul. Keunggulan dari sistem ini adalah arus penerimaan kas Negara lebih cepat daripada system yang lain dan sederhananya prosedur administrasi pajak. Namun, schedular taxation ini memiliki kelemahan yakni ketidakadilan dalam perpajakan karena seharusnya atas semua penghasilan yang diperoleh dijumlahkan dan diterapkan satu tarif saja yaitu tarif progresif. Jadi dalam scheduler taxation ini terdapat penghasilan-penghasilan tertentu yang tidak dijumlahkan dan pengenaan pajaknya menggunakan tarif khusus.

PP No 51 Tahun 2008 mengatur tentang Pengenaan PPh atas penghasilan dari Jasa Konstruksi dimana pengenaannya kembali ke aturan yang lama yaitu dikenakan PPh Final. Sebelum PP No 51 Tahun 2008 tersebut terbit, aturan yang berlaku adalah PP No 140 tahun 2000 dimana pengenaan PPh atas penghasilan Jasa Konstruksi yang omzetnya di atas Rp 1 Milyar tidak dikenakan PPh Final. Latar belakang dikenakan PPh Final berdasarkan PP No 51 Tahun 2008 atas penghasilan Jasa Konstruksi ini adalah dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pengenaan Pajak Penghasilan sehingga tidak menambah beban administrasi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha Jasa Konstruksi dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Adapun pokok-pokok aturan dalam PP 51/2008 adalah:
Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Pajak Penghasilan yang bersifat final :
a. dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak; atau
b. disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak
Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh Penyedia Jasa dari luar usaha Jasa Konstruksi dikenakan tarif berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang PPh.
Keuntungan atau kerugian selisih kurs dari kegiatan usaha Jasa Konstruksi termasuk dalam perhitungan Nilai Kontrak Jasa konstruksi yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Januari 2008 diatur:
a. untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi;
b. untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak setelah tanggal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Kerugian dari usaha Jasa Konstruksi yang masih tersisa sampai dengan Tahun Pajak 2008 hanya dapat dikompensasikan sampai dengan Tahun Pajak 2008
Peraturan Pemerintah 51/2008 mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2008

Dilihat dari PP No. 51 tahun 2008, dapat dilihat bahwa PP ini termasuk ke dalam scheduler taxation yang memiliki kelebihan dimana arus uang yang masuk ke kas Negara lebih cepat jika dibandingkan dengan tarif lain.

Tidak ada komentar: