Selasa, 30 Desember 2008

KEBIJAKAN PENGAMPUNAN PAJAK

KEBIJAKAN PENGAMPUNAN PAJAK

I. PENDAHULUAN

Salah satu cara inovatif untuk meningkatkan penerimaan pajak tanpa menambah beban pajak baru kepada masyarakat, dunia usaha, dan para pekerja adalah melalui program pengampunan pajak. Meskipun bukan satu-satunya solusi untuk mengatasi kesulitan anggaran negara, pengampunan pajak apabila dirancang dan dilaksanakan secara baik dapat membantu memperbaiki citra negatip yang selama ini melekat pada aparat pajak. Persepsi wajib pajak bahwa aparat pajak suka bersikap arogan, suka memeras, ujung-ujungnya duit dan sebagainya merupakan predikat yang sepertinya sudah melekat dalam diri petugas pajak, sehingga aparat pajak kerapkali dipandang sebagai musuh publik nomor satu. Dengan pengampunan pajak, dikandung harapan dimulainya suatu hubungan atau permulaan yang baru. Meminjam istilah yang dipergunakan Kellner, semua pihak akan mulai dengan piring yang bersih (”clean slate”). Atau, memakai istilah Direktur Jenderal Pajak, tiada dusta diantara kita. Pengampunan pajak diharapkan menghasilkan penerimaan pajak yang selama ini belum atau kurang dibayar, disamping meningkatkan kepatuhan membayar pajak karena makin efektipnya pengawasan karena semakin akuratnya informasi mengenai daftar kekayaan wajib pajak. Untuk masa selanjutnya, para wajib pajak yang belum atau kurang patuh dapat membayar pajak dengan lebih tenang, terlepas dari rasa ketakutan yang selama ini menghantuinya, karena “track record” penghasilannya yang hitam atau kelabu telah diputihkan.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat kepatuhan membayar pajak paska amnesti pajak, namun pengampunan pajak yang dilaksanakan secara hati-hati dan dirancang dengan baik dapat memulihkan tingkat kepatuhan membayar pajak. Bahkan, kepatuhan membayar pajak paska tax amnesty akan lebih baik bila program pengampunan pajak dibarengi dengan ditingkatkannya upaya penegakan hukum, dibandingkan apabila upaya penegakan hukum ditingkatkan tanpa program pengampunan pajak. Pengampunan pajak akan mempermudah masa transisi sistem perpajakan ke arah yang lebih kuat, lebih adil, dan lebih baik.

Potensi pajak yang hilang.

Besarnya potensi penghasilan yang lolos dari sistem perpajakan, merupakan salah satu faktor yang mendorong banyak negara menerapkan program tax amnesty untuk meningkatkan penerimaan pajak tanpa harus menambah beban jenis pajak baru. Amnesti pajak memungkinkan negara mengambil kembali pajak yang hilang atau belum dibayar, dengan memasukkan para penyelundup pajak tersebut ke dalam jaringan sistem administrasi perpajakan. Meski cukup banyak penelitian tentang ekonomi bawah tanah, namun belum banyak menghitung besarnya potensi pajak yang lolos dari kegiatan ekonomi bawah tanah. Dr Sasmito Wibowo (2001) pernah memprediksikan besarnya nilai ekonomi bawah tanah yakni 25% dari PDB. Bahkan Dr Luki Alfirman (2003), menggunakan metode yang sedikit berbeda, memprediksi kegiatan ini akan semakin besar dengan tingkat pertumbuhannya rata-rata 15% per tahun. Dr Enste & Schneider (2002) memperkirakan bahwa tingkat ekonomi bawah tanah di Thailand mencapai sekitar 70% dari PDB. Mempertimbangkan letak geografis wilayah Indonesia yang rawan penyelundupan karena memiliki ribuan pulau, estimasi ”underground economy” yang mendekati Thailand mungkin dapat dipergunakan sebagai ”proxy”. Pertimbangan lain yang mendukung adalah maraknya kegiatan ilegal logging, illegal fishing, illegal mining dan kegiatan ilegal lainnya yang menyebabkan Indonesia termasuk negara ke enam terkorup di dunia (2004). Karena itu wajar apabila tingkat kegiatan ekonomi bawah tanah di Indonesia setara dengan Thailand, bahkan mungkin lebih buruk. Dengan prakiraan nilai kegiatan ekonomi bawah tanah Indonesia (2004) sebesar 1750 trilyun rupiah dan asumsi tax ratio 15%, besarnya potensi pajak yang hilang dari kegiatan ekonomi bawah tanah Indonesia mencapai sekitar 262 trilyun rupiah.

Jenis amnesti pajak

Menurut literatur, sekurangnya terdapat empat jenis amnesti pajak. Yang pertama adalah amnesti yang tetap mewajibkan pembayaran pokok pajak, termasuk bunga dan dendanya, dan hanya mengampuni sanksi pidana perpajakan.Tujuannya adalah untuk memungut pajak tahun-tahun sebelumnya, sekaligus menambah jumlah wajib pajak terdaftar. Yang kedua yang sedikit longgar adalah amnesti yang mewajibkan pembayaran pokok pajak masa lalu yang terutang berikut bunganya, namun mengampuni sanksi denda dan sanksi pidana pajaknya. Bentuk ketiga yang lebih longgar adalah amnesti yang tetap mewajibkan pembayaran pokok pajak yang lama, namun mengampuni sanksi bunga, sanksi denda, dan sanksi pidana pajaknya. Yang ke empat adalah bentuk amnesti yang paling longgar karena mengampuni pokok pajak di masa lalu, termasuk sanksi bunga, sanksi denda, dan sanksi pidananya. Tujuannya adalah untuk menambah jumlah wajib pajak terdaftar, agar ke depan dan seterusnya mulai membayar pajak.

Moral hazard

Isu “moral hazard”, yang membuat amnesti pajak kurang populer adalah dampak negatif yang ditimbulkan akibat kelonggaran pajak yang dinikmati para pengemplang pajak, sementara pembayar pajak yang jujur tidak mendapat penghargaan atas kejujurannya. Hal ini sangat melukai rasa keadilan dalam pemungutan pajak, dan dapat merubah perilaku wajib pajak yang semula jujur menjadi tidak jujur.

Untuk mengurangi dampak negatif dari “moral hazard” ini , sebaiknya rencana pengampunan pajak hanya diberikan terhadap sanksi bunga, denda, atau kenaikan pajaknya saja. Bahwa pokok pajaknya tidak termasuk yang diampunkan. Dan rencana ini diumumkan secara terbuka melalui situs internet atau iklan layanan masyarakat lainnya kepada seluruh lapisan masyarakat, untuk memberi kesempatan berpartisipasi dan memberikan masukan atau pendapat sebelum draft RUU Pengampunan Pajak disampaikan kepada wakil rakyat.

Cara kedua, adalah melalui penerapan “differential tax amnesty”, yang membedakan perlakuan pengampunan pajak, dimana terhadap wajib pajak yang belum pernah menyampaikan SPT diwajibkan membayar pajak- pajaknya di masa lalu, sedangkan terhadap wajib pajak yang sudah patuh menyampaikan SPT dapat memperbaiki pembayaran pajaknya, tanpa dikenakan sanksi bunga, denda atau kenaikan. Dengan demikian, terdapat kesetaraan perlakuan pengampunan pajak terhadap penyelundup pajak dan pembayar pajak yang patuh, karena meskipun keduanya sama-sama dibebaskan dari sanksi bunga, sanksi denda, dan sanksi kenaikan ( termasuk sanksi pidana fiskalnya ), namun keduanya tetap diwajibkan membayar pokok pajaknya.

Pengalaman Afrika Selatan.

Di Afrika Selatan (2003), program pengampunan pajak dikaitkan dengan sistem pengawasan devisa (exchange control), sesuatu yang tidak diatur di Indonesia yang menganut rezim devisa bebas. Di sana, penduduk Afrika Selatan dilarang mentransfer devisa ke luar negeri di atas 750.000 Rand atau sekitar Rp 1.250.000.000,- Terhadap asset yang disimpan di luar negeri yang melebihi jumlah tersebut, apabila di bawa kembali ke Afrika Selatan setelah permohonan amnesty diterima, dikenakan tarif diskon 50% dibandingkan bila asset tersebut tetap di simpan di luar negeri. Untuk asset yang disimpan di luar negeri dan berasal dari penghasilan yang belum dipenuhi kewajiban perpajakannya dikenakan tarif tambahan 2%. Tuntutan pidana yang dibebaskan dibatasi pada pidana pajak dan peraturan lalu lintas devisa. Dengan demikian kepemilikan asset di luar negeri yang berasal dari korupsi atau aktivitas kriminal lainnya seperti penipuan atau perampokan tidak akan mendapat pengampunan. Terhadap asset yang disimpan di dalam negeri dan berasal dari penghasilan dalam negeri yang belum dilaporkan di SPT dan belum membayar pajak sebagaimana mestinya tidak akan mendapat fasilitas pengampunan. Bila asset tersebut dilaporkan, fasilitas amnesti yang diberikan hanyalah penghapusan denda 200% dan kelonggaran boleh mencicil pajaknya. Pokok pajak dan bunganya harus tetap di bayar.

Model Indonesia.

Meskipun masih bersifat pro kontra, program tax amnesty yang cocok untuk ekonomi kita barangkali adalah ”differential tax amnesty” yang tetap mewajibkan pembayaran pokok pajak di masa lalu, dan hanya memberikan pengampunan atas sanksi denda, bunga, ataupun kenaikan pajak. Selanjutnya jenis pajak yang diampuni sebaiknya hanya Pajak Penghasilan orang pribadi, karena penghasilan setelah kena pajak tercermin dalam akumulasi kekayaan orang pribadi tersebut, sehingga memudahkan pengawasan pasca tax amnesty. Pengampunan pajak atas jenis PPN dan PPnBM dan jenis pajak yang dipungut saat transaksi seperti PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 26 tidak masuk dalam program amnesti pajak karena bertentangan dengan azas keadilan dalam pemungutan pajak. Sangat tidak adil apabila negara mengampuni kesalahan wajib pajak yang memungut pajak karena berarti wajib pajak mendapat keuntungan ganda :
menikmati amnesti atas pajaknya sendiri
menikmati amnesti atas pajak orang lain yang telah dipungutnya namun tidak pernah disetorkan ke kas negara.

Prasyarat awal

Sekurangnya ada tiga prasyarat awal yang perlu dipersiapkan untuk mendukung keberhasilan program amnesti pajak. Yang pertama, perlu melakukan sosialisasi dini mengenai rencana pengampunan pajak, yang didukung oleh perangkat administrasi perpajakan modern menggunakan sistem komputer, untuk mendukung penegakan hukum paska amnesti pajak. Tanpa didukung tehnologi informasi yang modern, program tax amnesty tidak akan dapat mencapai sasaran yang diharapkan yakni tercapainya tax ratio 19% di tahun 2009.

Yang kedua , mengenai tunggakan pajak negara, yaitu utang pajak yang telah pasti dan ditetapkan dengan surat ketetapan pajak, yang merupakan obyek penagihan pajak dengan Undang-undang Penagihan dengan Surat Paksa. Tunggakan pajak, yang hingga saat ini secara nasional telah mencapai 29 trilyun rupiah, tidak termasuk dalam paket program pengampunan, bahkan merupakan pra syarat harus dilunasi sebelum wajib pajak dapat mengikuti program pengampunan pajak. Khusus mengenai tunggakan ini perlu disosialisasikan lebih awal untuk mencegah jangan sampai isu pengampunan pajak menjadi ”counter productive” karena masyarakat salah mengerti dan beramai-ramai menunda pembayaran pajaknya dengan harapan kelak mendapat pengampunan.

Yang ketiga dan tidak kalah pentingnya adalah perlunya program pendukung berupa penegakan hukum secara tegas dan konsisten terhadap pelanggar hukum. Undang-undang Amnesti Pajak harus didukung seperangkat undang- undang lainnya yang menjamin penegakan hukum. Diantaranya adalah jaminan mengalirnya data secara sistemik (by computer) ke pusat basis data perpajakan nasional melalui program SIN (Single Identification Number). RUU yang mendukung hal ini adalah RUU Informasi dan Transaksi Elektronis (ITE). Juga diperlukan amandemen UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan menambahkan azas pembuktian terbalik untuk menciutkan nyali para koruptor, sekaligus memperkecil kegiatan ekonomi bawah tanah. Berikutnya adalah amandemen UU Perbankan, agar memberikan akses informasi keuangan ke sistem perpajakan, sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank. Selanjutnya adalah amandemen RUU Tindak Pidana Pencucian Uang, untuk memberikan akses terhadap transaksi yang mencurigakan dan transaksi kas yang besar, untuk dicocokkan secara sistem dengan laporan SPT wajib pajak, seperti yang dilaksanakan di negara maju.

Yang terakhir adalah perlunya UU Good Corporate Governance, untuk menata kembali sistem penggajian pegawai negeri guna mencegah praktek korupsi karena kurang memadainya remunerasi yang diterima aparatur negara. Karena pengampunan pajak idealnya hanya berlaku sekali (once–in-a-life time only), ke lima peraturan perundang-undangan tersebut harus ada untuk membantu tegaknya hukum secara murni dan konsekwen, yang merupakan syarat keberhasilan program amnesti pajak. Tanpa penegakan hukum yang sungguh-sungguh di berbagai bidang, semenarik apapun amnesti pajak yang ditawarkan tidak akan menyebabkan wajib pajak secara sukarela mengakui kesalahan masa lalunya, apabila mengetahui bahwa probabilitas terungkapnya ketidakjujuran membayar pajak sangat kecil karena lemahnya perangkat hukum lainnya. Semua program pendukung di atas mutlak diperlukan dan diberlakukan bersamaan dengan diumumkannya program pengampunan pajak.

Perlunya referendum

Menarik untuk dikemukakan pengalaman Afrika Selatan. Dikisahkan seorang perempuan kulit hitam yang seluruh anggota keluarganya mati dibunuh oleh pejabat kulit putih semasa berlangsungnya politik apartheid di Rhodesia. Ketika Presiden Nelson Mandela mencanangkan program rekonsiliasi nasional dan pejabat itu mengakui kesalahannya, ibu tua itu bersedia mengampuni orang yang telah membunuh suami, dan anak-anaknya, karena pengaruh kharisma dan sikap jiwa besar yang diperlihatkan Mandela, yang meskipun hampir 20 tahun mendekam di penjara, sanggup mengampuni musuh politiknya. Barangkali, dikaitkan dengan kondisi ekonomi Indonesia, kisah wanita warga Afrika Selatan di atas analog dengan Ibu Pertiwi Indonesia, yang tersiksa karena ekonominya sangat terpuruk akibat praktek korupsi selama ini, yang membuat rakyat sangat menderita. Hasil korupsi tersebut, yang merupakan bagian dari kegiatan “underground economy” bahkan belum dibayar pajaknya akibat lemahnya penegakan hukum. Pejabat kulit putih dalam kisah di atas menggambarkan para koruptor Indonesia. Karena kondisi Indonesia mirip dengan keadaan di Afrika Selatan pada masa transisi dari sistem kepemerintahan yang korup (bad governance) ke sistem kepemerintahan yang bersih (good governance), pengampunan pajak sebagai suatu isu yang stratejik karena menyangkut hajat hidup orang banyak , sangat memerlukan referendum. Diperlukan REFERENDUM nasional untuk mendapatkan persetujuan sekurang- kurang nya dari 63% rakyat Indonesia yang telah memilih presiden secara langsung, tanpa melalui mekanisme Dewan Perwakilan Rakyat. Meskipun biayanya relatif mahal, barangkali sepadan dengan hasil yang diharapkan yakni terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan tercapainya target tax ratio 19% tahun 2009 dalam rangka mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Penutup

Amnesti pajak adalah suatu program yang holistik karena menyangkut kepentingan seluruh rakyat. Amnesti pajak berarti pengampunan habis-habisan terhadap semua perbuatan tercela dimasa lalu. Amnesti pajak tidak akan berhasil apabila tidak diikuti oleh penegakan hukum yang sungguh-sungguh tanpa pandang bulu. Amnesti pajak tidak akan berhasil apabila oknum aparat pajak, oknum jaksa, dan oknum polisi masih mengejar kepentingan masing- masing. Amnesti pajak tidak akan berhasil apabila probabilitas tertangkapnya para pengemplang pajak yang melakukan kegiatan underground economy masih sangat rendah. Amnesti pajak tidak akan berhasil apabila masih terjadi kompromi antara oknum wajib pajak dan oknum aparat pajak. Amnesti pajak baru berhasil apabila pemerintah, disamping mengampuni habis-habisan, juga menegakkan hukum habis-habisan, di segala bidang (terutama dibidang perpajakan).

Referensi :
1. Alm,James, McKee,Michael, and Beck,William:Amazing Grace : Tax Amnesties and Compliances, National Tax Journal, Vol.43, N o.1, March 1990, pp.23-37
2. Joint Committee on Taxation : Tax Amnesty, 105th Congress, 2nd session :Januari 30,1998. US Government Printing Office,Washington,1998.
3. Kellner, Martin : Tax Amnesty 2004/2005: An Appropriate Revenue Tool? German Law Journal,Volume 5, No.4, 1 April 2004,
4. National Center for Policy Analysis: Bruce Barlett Opinion Editorial, Idea House, Monday, April 21, 1997
5. Scheneider,Friedrich & Enste,Dominik,: Hiding in the Shadows: The Growth of the Underground Economy : International Monetary Fund, 2002.
6. Scheneider, Friedrich & Enste, Dominik, The Shadow Economy : an International Survey, Cambridge University Press,1st Published, 2002.
7. Silitonga, Erwin: Mewujudkan Kemudahan Perolehan Akses Data/ Informasi Keuangan Guna Lebih Meningkatkan Kinerja Operasional Direktorat Jenderal Pajak Dalam Rangka Penegakan Hukum, (unpublished), SPATI-LAN, Angkatan VII, Februari, 2005
8. Silitonga, Erwin : Ekonomi Bawah Tanah Dan Pengaruhnya Terhadap Perpajakan, ( unpublished), National Talk Show 2005, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1 April, 2005
9. The 34th SGATAR meeting : Recent initiative to manage the cash economy /underground economy; Sydney, Australia, 2004.
10. Tax Prophet : Tax Amnesty for Offshore Account :The program and results. Registered trademark of Robert L.Sommers, May, 2003.

Rabu, 12 November 2008

SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA

Sistem perpajakan di Indonesia menganut global taxation. Global taxation adalah sistem pengenaan pajak atas penghasilan dengan cara menjumlahkan semua jenis tambahan kemampuan ekonomis dimanapun didapat, di Indonesia dan di luar negeri, lalu atas seluruh penghasilan tersebut diterapkan suatu struktur tarif progresif yang berlaku atas semua Wajib Pajak. (R Mansury 1996:82). Selain Global taxation system, sistem perpajakan di Indonesia juga menganut global schedular taxation dimana menurut sistem ini ada penghasilan-penghasilan tertentu dikenakan tarif sendiri-sendiri berdasarkan aturan yang berlaku. Misalnya pajak atas pendapatan bunga deposito sebesar 20% yang sifatnya final.
Keunggulan Global taxation system adalah system ini pada dasarnya memenuhi konsep keadilan dalam perpajakan, yaitu keadilan horizontal dan keadilan vertical. Keadilan horizontal dimana beban pajaknya adalah sama atas semua Wajib Pajak yang mendapatkan penghasilan yang sama dengan jumlah tanggungan yang sama tanpa membedakan jenis penghasilan atau sumber penghasilan atau biasa disebut equal treatment for the equals. (R Mansury 1996:10), dan keadilan vertikal orang-orang dengan tambahan kemampuan ekonomis yang berbeda dikenakan Pajak Penghasilan yang berbeda setara dengan perbedaannya atau biasa disebut dengan unequal treatment for the unequals (R Mansury 1996:10). Kelemahan sistem ini adalah dapat terjadi double taxation dimana jika penghasilan didapat dari luar negeri dan negeri tempat penghasilan menganut pajak dipungut di negeri sumber penghasilan, maka penghasilan akan dipajaki oleh Indonesia dan negara tempat penghasilan didapat.
Tujuan dari global schedular taxation sebenarnya adalah untuk mempercepat masuknya penerimaan negara dan penyederhanaan administrasi perpajakan. Karena sifatnya yang final atau langsung di potong pajak setiap saat penghasilan tersebut timbul. Keunggulan dari sistem ini adalah arus penerimaan kas Negara lebih cepat daripada system yang lain dan sederhananya prosedur administrasi pajak. Namun, schedular taxation ini memiliki kelemahan yakni ketidakadilan dalam perpajakan karena seharusnya atas semua penghasilan yang diperoleh dijumlahkan dan diterapkan satu tarif saja yaitu tarif progresif. Jadi dalam scheduler taxation ini terdapat penghasilan-penghasilan tertentu yang tidak dijumlahkan dan pengenaan pajaknya menggunakan tarif khusus.

PP No 51 Tahun 2008 mengatur tentang Pengenaan PPh atas penghasilan dari Jasa Konstruksi dimana pengenaannya kembali ke aturan yang lama yaitu dikenakan PPh Final. Sebelum PP No 51 Tahun 2008 tersebut terbit, aturan yang berlaku adalah PP No 140 tahun 2000 dimana pengenaan PPh atas penghasilan Jasa Konstruksi yang omzetnya di atas Rp 1 Milyar tidak dikenakan PPh Final. Latar belakang dikenakan PPh Final berdasarkan PP No 51 Tahun 2008 atas penghasilan Jasa Konstruksi ini adalah dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pengenaan Pajak Penghasilan sehingga tidak menambah beban administrasi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha Jasa Konstruksi dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Adapun pokok-pokok aturan dalam PP 51/2008 adalah:
Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Pajak Penghasilan yang bersifat final :
a. dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak; atau
b. disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak
Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh Penyedia Jasa dari luar usaha Jasa Konstruksi dikenakan tarif berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang PPh.
Keuntungan atau kerugian selisih kurs dari kegiatan usaha Jasa Konstruksi termasuk dalam perhitungan Nilai Kontrak Jasa konstruksi yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Januari 2008 diatur:
a. untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi;
b. untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak setelah tanggal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Kerugian dari usaha Jasa Konstruksi yang masih tersisa sampai dengan Tahun Pajak 2008 hanya dapat dikompensasikan sampai dengan Tahun Pajak 2008
Peraturan Pemerintah 51/2008 mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2008

Dilihat dari PP No. 51 tahun 2008, dapat dilihat bahwa PP ini termasuk ke dalam scheduler taxation yang memiliki kelebihan dimana arus uang yang masuk ke kas Negara lebih cepat jika dibandingkan dengan tarif lain.

KONSEP BENTUK USAHA TETAP

Tulisan ini diambil dari Kapita Selekta

Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau Permanent Establishment adalah kriteria bagi negara sumber untuk dapat mengenakan pajak atas penghasilan dari business profit yang diterima atau dijalankan oleh Wajib Pajak Luar Negeri. Konsep BUT dalam model persetujuan penghindaran pajak berganda dimaksudkan untuk menentukan hak pemajakan negara sumber agar dapat mengenakan pajak atas laba usaha yang diterima atau diperoleh oleh Subjek Pajak dari negara lainnya. Badan Usaha Tetap merupakan hak mutlak agar negara sumber dapat memajaki business profit yang diperoleh negara tersebut. Tanpa keberadaan Badan Usaha Tetap, negara sumber tidak berhak memajaki business profit yang diperoleh oleh Wajib Pajak Luar Negeri dan hak pemajakan tetap berada di tangan negara resident.

Suatu Bentuk Usaha Tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanent dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Pengertian Bentuk Usaha Tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.

Perusahaan Asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai Bentuk Usaha Tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran Premi Asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Menurut Undang-Undang Perpajakan Indonesia, bentuk usaha yang dipergunakan oleh Subjek Pajak Luar Negeri untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, dapat dikatakan sebagai BUT yang dapat berupa:
1. tempat kedudukan manajemen;
2. cabang perusahaan;
3. kantor perwakilan;
4. gedung kantor;
5. pabrik;
6. bengkel;
7. pertambangan dan penggalian sumber alam; wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
8. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
9. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
10. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
11. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
12. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

PENGGOLONGAN SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI

Subjek Pajak merupakan Subjek Hukum yang oleh Undang-undang pajak diberi kewajiban perpajakan. Subjek Pajak ( orang pribadi dan badan) dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu resident atau Subjek Pajak Dalam Negeri dan nonresident atau Subjek Pajak Luar Negeri. Resident diartikan sebagai orang dan badan yang dapat dikenakan pajak di Negara tersebut kedudukan manajemen, tempat pendirian, atau criteria lainnya yang sifatnya serupa. Sedangkan pengertian nonresident adalah orang dan badan yang tidak mempunyai hubungan yang erat dengan suatu negara untuk dikenakan pajak atas seluruh penghasilannya (worldwide income). Dengan demikian, orang dan badan tersebut hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di negara tersebut. Dari pengertian tersebut disimpulkan bahwa maksud dari penggolongan Subjek Pajak menjadi Sumber Pajak Dalam Negeri dan Luar Negeri adalah untuk membedakan basis pengenaan pajak dari masing – masing golongan Subjek Pajak tersebut. Subjek Pajak Dalam Negeri dikenakan pajak atas seluruh penghasilannya baik yang berasal dari dalam negeri dan luar negeri (worldwide income basis), sedangkan Subjek Pajak Luar Negeri dikenakan pajak atas penghasilannya yang bersumber di negara sumber (source income basis).
SUBJEK PAJAK BERDASARKAN UU PPh

Dalam Undang – undang Penghasilan Nomor 17 Tahun 2000, rumusan tentang Subjek Pajak diatur dalam Pasal 2 sebagai berikut ini:
Ayat (1):
4. a. orang pribadi
b. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak
5. badan
6. badan usaha tetap

Ayat (2):
Subjek Pajak terdiri atas Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri

Ayat (3):
Yang dimaksud dengan Subjek Pajak Dalam Negeri adalah:
3. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia
4. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
5. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak

Ayat (4):
Yang dimaksud dengan Subjek Pajak Luar Negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia

Ayat (5):
Yang dimaksud Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 ( seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

KERANCUAN – KERANCUAN DALAM PERUMUSAN BUT
Kerancuan Pertama
Dalam Pasal 2 UU PPh maupun penjelasannya tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan “badan.” Pengertian badan diberikan dalam Pasal 1 angka ke-3 UU KUP Nomor 28 Tahun 2007. Dalam Pasal 1 angka ke-3 tersebut BUT dimasukkan ke dalam pengertian badan. Apabila Pasal 2 (1) UU PPh dan Pasal 1 angka ke-3 UU KUP disandingkan maka akan tampak kerancuan sebagai berikut:
Tabel 1
Pasal 2 ayat (1) UU PPh Pasal 1 angka ke-3 UU KUP
1. a. orang pribadi
b.warisan yang belum terbagisebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak
2. badan
3. badan usaha tetap Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan badan usaha tetap.


Jelas tampak kerancuan dalam perumusan BUT seperti tersebut di atas, di mana dalam UU PPh BUT merupakan Subjek Pajak yang berdiri sendiri dan terpisah dari orang pribadi dan badan. Sedangkan dalam UU KUP, BUT merupakan bagian dari badan. Selain itu, seperti yang telah dijelaskan dalam butir 2 di atas bahwa BUT hanya merupakan suatu kriteria yang harus dipenuhi oleh negara sumber untuk dapat memajaki laba usaha dari negara perjanjian lainnya.
Kerancuan Kedua
Apabila rumusan Subjek Pajak dalam Pasal 2 ayat (1) UU PPh tersebut dikaitkan dengan pengertian Wajib Pajak yang ada dalam Pasal 1 angka ke-2 UU KUP, maka akan tampak kerancuan sebagai berikut:
Tabel 2
Pasal 2 ayat (1) UU PPh Pasal 1 angka ke-2 UU KUP
Yang menjadi Subjek Pajak adalah:
1. a.orang pribadi
b.warisan yang belum terbagisebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak
2. badan
3. badan usaha tetap Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, ......

Dari tabel diatas, tampak bahwa dalam Pasal 1 angka-2 UU KUP Wajib Pajak hanya dibedakan menjadi dua yaitu orang pribadi dan badan. Akan tetapi dalam Pasal 2 ayat (1) UU PPh ditambahkan satu Subjek Pajak lagi yang terpisah dari orang pribadi dan badan yaitu BUT. Padahal BUT tersebut menurut Pasal 1 angka ke-2 UU KUP merupakan bagian dari badan.
Kerancuan Ketiga
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PPh dinyatakan bahwa perbedaan antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya antara lain seperti tampak dalam tabel 3 berikut ini:
Tabel 3
Wajib Pajak Dalam Negeri Wajib Pajak Luar Negeri
1. Dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan luar Indonesia
2. Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum
3. Wajib menyampaikan SPT sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak 1. Dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia
2. Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif dengan tarif sepadan
3. Tidak wajib menyampaikan SPT, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final
Lebih lanjut dinyatakan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PPh adalah sebagai berikut:
”Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan UU KUP”
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) seperti tampak diatas ”membingungkan.” Rumusan tersebut akan menimbulkan kesan bahwa BUT dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan luar Indonesia seperti tampak dalam Tabel 3 kolom 1 butir 1. Kesan ini terjadi karena dalam penjelasan tersebut merumuskan basis pemajakan penghasilan dari Wajib Pajak dalam negeri. Padahal BUT merupakan Subjek Pajak luar negeri sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (4) dan (5) UU PPh dan dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang bersumber di Indonesia.

KESIMPULAN
Perlakuan terhadap Badan Usaha Tetap sebagai Subjek Pajak Luar Negeri dalam UU KUP dan UU Penghasilan menimbulkan kerancuan. Mengenai Subjek Pajaknya, Badan Usaha Tetap seharusnya dimasukkan dalam pengertian badan sebagai Subjek Pajak yang tidak berdiri sendiri. Karena pada dasarnya Badan Usaha Tetap itu adalah sarana yang digunakan oleh Subjek Pajak orang pribadi dan badan yang berstatus sebagai Subjek Pajak Luar Negeri. dan Badan Usaha Tetap tersebut merupakan kriteria yang digunakan oleh Indonesia agar dapat mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Subjek Pajak Luar Negeri baik orang pribadi maupun badan.
Bagi Wajib Pajak luar negeri tidak mempunyai kewajiban perpajakan untuk menyampaikan SPT sedangkan bagi Wajib Pajak dalam negeri mempunyai kewajiban perpajakan untuk menyampaikan SPT. Tetapi kewajiban ini dikecualikan untuk BUT. BUT sebagai Wajib Pajak luar negeri mempunyai kewajiban perpajakan yang dipersamakan dengan Wajib Pajak dalam negeri untuk menyampaikan SPT.
Sebagai Wajib Pajak dalam negeri, Wajib Pajak dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya baik dari dalam dan luar negeri (world wide income). Tetapi untuk BUT, sebagai Wajib Pajak luar negeri walaupun kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan Wajib Pajak dalam negeri, hanya dikenakan pajak atas penghasilannya yang diperoleh dan diterima yang bersumber di Indonesia saja.

HUKUM ACARA PENGADILAN PAJAK

PENDAHULUAN

1. Dasar Hukum, Kedudukan, dan Tempat Kedudukan Pengadilan Pajak

Dasar Hukum Pengadilan Pajak
Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan pajak dibentuk memenuhi amanat Pasal 27 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan terakhir Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Lembaran Negara 2002 Nomor 27 tentang Pengadilan Pajak, maka Pengadilan Pajak sudah diletakkan dalam struktur kehakiman menurut sistem ketatanegaraan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam konsideran (pertimbangan pembuatan Undang-undang tersebut), maupun dalam pasal di batang tubuhnya, yaitu :
1) Dalam konsideran mengingat antara lain menunjuk pada Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 stdd Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menentukan bahwa ”Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan peradilan menurut Undang-undang”, dan menunjuk pada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 (telah diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (telah diubah degan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004)
2) Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap pajak

Kedudukan Pengadilan Pajak
Pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menegaskan bahwa ”Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak”
Pengadilan Pajak merupakan salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman di samping badan-badan lainnya, dengan kompetensi absolut yang khusus atau spesial, yaitu untuk memeriksa, memutus, dan mengadili sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak dan Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan atau keputusan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.



Tempat Kedudukan Pengadilan Pajak
Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, tempat kedudukan Pengadilan Pajak adalah di Ibukota Negara, Jakarta. Dengan demikian untuk seluruh wilayah Indonesia hanya ada satu Pengadilan Pajak.

2. Fungsi dan Tujuan Pengadilan Pajak
Fungsi Pengadilan Pajak dapat dilihat dari segi atau nilai filosofis yang terkandung dalam Pengadilan Pajak, yaitu dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada rakyat atau Wajib Pajak pencari keadilan, yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu keputusan pejabat yang berwenang di bidang perpajakan.

Konsideran menimbang Undang-undang Pengadilan Pajak antara lain mengatakan bahwa ”dalam melaksanakan peraturan perpajakan tidak dapat dihindarkan timbulnya sengketa pajak yang memerlukan penyelesaian yang adil dengan prosedur yang cepat, murah, dan sederhana”, bahwa karenanya diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.

Pembentuk Undang-undang Pengadilan Pajak dalam penjelasan umum antara lain mengatakan bahwa pelaksanaan pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang Perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat Wajib Pajak, sehingga potensial menimbulkan sengketa pajak.

Namun demikian perlu disadari pula dalam kaitan tersebut bahwa disamping adanya hak perorangan atau individu yang harus dilindungi, masyarakat dalam bentuk institusi negara juga mempunyai hak-hak dan wewenang tertentu yang dapat dipaksakan sebagai kewajiban warga negara atau warga masyarakat, yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini khususnya bidang perpajakan. Hak negara dan masyarakat yang demikian itu perlu diperhatikan dan dilindungi pula.

Maka fungsi Pengadilan Pajak disini dapat dilihat dan ditinjau dari aspek pemberian keadilan yang menjadi penjaga keseimbangan antara kedua kepentingan perlindungan tersebut, yang dalam keadaan-keadaan tertentu tidak sejalan atau bahkan saling berbenturan.

Oleh karena itu tujuan Pengadilan Pajak pada hakekatnya tidaklah semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan atau individu, tetapi sekaligus juga memperhatikan dan melindungi hak-hak masyarakat yang dijalankan oleh kekuasaan negara melalui pejabat-pejabatnya (fiskus).

3. Visi dan Misi Pengadilan Pajak
Dari konsideran ”menimbang” penjelasan umum Undang-undang Pengadilan Pajak tersebut dan Undang-undang KUP menunjukkan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan yang diperintahkan Undang-undang dan pungutan pajak harus bersih dari pungutan yang tidak diperintahkan Undang-undang (to save the only legal tax)
Visi Pengadilan Pajak : ”Penegak keadilan hukum pajak berdasarkan Undang-undang”
Misi : ”Menyelamatkan pemungutan pajak yang diperintahkan Undang-undang dan sebaliknya membersihkan pungutan pajak dari pungutan yang tidak berdasarkan Undang-undang”

Selasa, 11 November 2008

Arti Definisi / Pengertian Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)

Arti Definisi / Pengertian Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)

Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :
1. Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.
2. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.
3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan ekonomi makro yang sangat penting dalam rangka :
• Membantu memperkecil fluktuasi dari siklus usaha
• Mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang sustainable, kesempatan kerja yang tinggi
• Membebaskan dari inflasi yang tinggi atau bergejolak


Arah kebijakan fiskal secara teori
Ketika lahir, diarahkan untuk menstabilkan ekonomi makro. Dalam perkembangan terakhir, diarahkan untuk mengurangi defisit anggaran.

Kebijakan fiskal
merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal bertujuan men-stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat mempengaruhi variabel-variabel berikut:
• Permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi
• Pola persebaran sumber daya
• Distribusi pendapatan
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kebijakan perpajakan adalah bagian dari kebijakan fiskal. Pengertian kebijakan Fiskal adalah “kebijakan untuk mempengaruhi produksi masyarakat, kesempatan kerja dan inflasi, dengan menggunakan instrumen pemungutan pajak dan pengeluaran belanja.” Kebijakan Fiskal bertujuan untuk mempengaruhi jumlah total pengeluaran masyarakat, pertumbuhan ekonomi dan jumlah seluruh produksi masyarakat, banyaknya kesempatan kerja dan pengangguran, tingkat harga umum dan inflasi. Dengan demikian, dalam banyak hal, kebijakan pajak mempunyai implikasi yang makro, misalnya bagaimana pajak bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi atau suatu sektor industri tertentu. Hal ini dapat dipahami dalam kerangka konseptual supply side tax policy.
Implementasi kebijakan yang sudah ditetapkan dalam undang-undang, pada akhirnya hanya akan bisa berjalan jika ada administrasi perpajakan. Tidak seperti kebijakan pajak, masalah administrasi perpajakan masih kurang mendapat perhatian yang memadai. Hal ini dapat dilihat dari terbatasnya kajian atau literatur mengenai administrasi perpajakan,
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kebijakan fiskal (Fiscal Policy) adalah kebijakan pemerintah dengan menggunakan belanja negara dan perpajakan dalam rangka menstabilkan perekonomian.
Tujuan Kebijakan Fiskal
Tujuan dari kebijakan fiskal yaitu:
1. Untuk meningkatkan produksi nasional (PDB) dan pertumbuhan ekonomi.
2. Untuk memperluas lapangan kerja dan mengurangi pengangguran.
3. Untuk menstabilkan harga-harga barang, khususnya mengatasi inflasi.
Perangkat Kebijakan Fiskal
Ada dua perangkat kebijakan fiskal yaitu:
1. Belanja/pengeluaran negara (G = Government Expenditure)
2. Perpajakan (T = Taxes)
Jenis-jenis Kebijakan Fiskal
1. Kebijakan fiskal ekspansif (expansionary fiscal policy): menaikkan belanja negara dan menurunkan tingkat pajak netto. Kebijakan ini untuk meningkatkan daya beli masyarakat . Kebijakan fiskal ekspansif dilakukan pada saat perekonomian mengalami resesi/depresi dan pengangguran yang tinggi.
2. Kebijakan fiskal kontraktif: menurunkan belanja negara dan menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan daya beli masyarakat dan mengatasi inflasi.
Pengaruh Kebijakan Fiskal bagi Perekonomian
1. Pemerintah menggunakan kebijakan fiskal untuk mencapai tujuan-tujuan seperti inflasi yang rendah dan tingkat pengangguran yang rendah.
2. Berdasarkan teori ekonomi Keynesian, kenaikan belanja pemerintah sehingga APBN mengalami defisit dapat digunakan untuk merangsang daya beli masyarakat (AD = C + G + I + X - M) dan mengurangi pengangguran pada saat terjadi resesi/depresi ekonomi.
3. Ketika terjadi inflasi, pemerintah harus mengurangi defisit (atau menerapkan anggaran surplus) untuk mengendalikan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

PEMERIKSAAN DAN PENYIDIKAN PAJAK

PEMERIKSAAN DAN PENYIDIKAN PAJAK


A. PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM PEMERIKSAAN PAJAK

Pemeriksaan menurut UU KUP Pasal 1 angka 24 adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, dan mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Karena system perpajakan adalah self assessment, maka penting untuk menguji kepatuhan WP apakah dia sudah mengikuti batas-batas yang ditentukan oleh UU atau tidak. Bagaimanakah kriteria Wajib Pajak patuh yg ditetapkan pemerintah? Menurut Kepmen No. 544/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 disebutkan bahwa kriteria wajib pajak patuh adalah:
1. Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan untuk semua jenis pajak dalam 2 (dua) tahun terakhir.
2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda membayar pajak.
3. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir.
4. Dalam 2 (dua) tahun pajak terakhir :
a) Menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU KUP
b) Dalam hal terhadap WP pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terhutang paling banyak 5%
5. WP yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba-rugi fiskal.
- Laporan auditnya harus disusun dalam bentuk “long form report” yang menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal.
- Dalam hal WP yang laporan keuangannya tidak diaudit oleh akuntan publik, dipersyaratkan untuk memenuhi ketentuan tersebut huruf d diatas.

Oleh karena tidak semua wajib pajak itu patuh, maka dilakukanlah pemeriksaan pajak. Kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pajak ada pada Direktur Jenderal Pajak yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-undang KUP. Dengan demikian, Pemeriksa Pajak adalah pegawai negeri sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan pajak. Ada 4 dasar hukum mengenai pemeriksaan pajak, yaitu:
1. PP No. 31 Tahun 1986 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak yang tujuannya adalah menetapkan jumlah pajak terutang.
2. PP di atas dicabut dengan PP No.43 Tahun 1994 dimana tata cara pemeriksaan cukup diatur melalui Keputusan Menteri Keuangan
3. Kepmen No. 625/KMK 04/1994 tertanggal 27 Desember 1994 yang berlaku 1 Januari 1995 bahwa tujuan pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
4. Selanjutnya kepmen di atas dinyatakan tidak berlaku lagi digantikan dengan Kepmen No. 545/KMK/2000 tanggal 22 Desember 2000 dengan tujuan hampir sama.

Sesuai dengan Kepmen No. 545/KMK.04/2000 tertanggal 22 Desember 2000 disebutkan bahwa tujuan pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan dan pembinaan kepada WP dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dilakukan dalam beberapa hal, yaitu:
1. SPT menunjukkan kelebihan pembayaran pajak, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
2. SPT Tahunan Pajak Penghasilan menunjukkan rugi fiskal.
3. SPT tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang telah ditetapkan.
4. SPT yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh Dirjen Pajak.
5. Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban tersebut pada angka 3 tidak dipenuhi.
Sedangkan pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dalam hal:
1. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara jabatan.
2. Penghapusan NPWP.
3. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak.
4. Wajib Pajak mengajukan keberatan.
5. Pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto
6. Pencocokan data dan atau alat keterangan.
7. Penentuan WP berlokasi di daerah terpencil.
8. Penentuan satu atau lebih tempat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai.
9. Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Dalam pemeriksaan pajak, ada 9 kebijakan secara umum, yaitu:
1. Setiap Wajib Pajak mempunyai peluang yang sama untuk diperiksa.
2. Setiap pemeriksaan yang dilaksanakan harus dilengkapi dengan surat perintah pemeriksaan pajak yang mencantumkan tahun pajak yang diperiksa.
3. Pemeriksaan dapat dilaksanakan oleh kantor pusat Ditjen Pajak, Kanwil, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak.
4. Pemeriksaan ulang terhadap jenis dan tahun pajak yang sama, tidak diperkenankan, kecuali dalam hal sbb:
a. WP diduga telah atau sedang melakukan tindak pidana perpajakan.
b. Terdapat data baru dan atau data semula yang belum terungkap.
5. Buku-buku, catatan-catatan dan dokumen lain yang akan dipinjam dari wajib pajak dalam pelaksanaan pemeriksaan tidak harus yang asli, dapat juga misalnya berupa fotocopy yang sesuai dengan aslinya.
6. Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor pemeriksa atau di tempat WP
7. Jangka waktu pemeriksaan terbatas:
a) Pemeriksaan Lengkap harus diselesaikan dalam 2 bulan sejak tanggal surat pemberitahuan diterima oleh WP.
b) Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) selesai dalam waktu 1 bulan, sejak surat pemberitahuan diterima oleh WP.
8. Dapat dilakukan perluasan pemeriksaan, baik untuk tahun-tahun sebelumnya maupun tahun sesudahnya yaitu dalam hal:
a) SPT Tahunan, WP Orang Pribadi Badan menyatakan adanya kompensasi kerugian dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dilakukan pemeriksaan.
b) Sebab lain berdasarkan instruksi pemeriksaa, penyidikan, dan penagihan pajak.
9. Setiap hasil pemeriksaan harus diberitahukan kepada WP secara tertulis yaitu mengenai hal-hal yang berbeda antara SPT WP dengan hasil pemeriksaan, dan selanjutnya untuk ditanggapi oleh WP.

B. JENIS-JENIS PEMERIKSAAN

1. Pemeriksaan Rutin, yaitu pemeriksaan yang bersifat rutin yang dilakukan terhadap WP yang berhubungan dengan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya, yaitu antara lain dilakukan dalam hal berikut:
a) SPT Tahunan PPh WP Badan atau Orang Pribadi Lebih Bayar (LB).
b) SPT Tahunan PPh WP Badan yang menyatakan rugi tetapi tidak LB.
c) WP mengajukan pencabutan NPWP atau PKP.
d) WP tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh walaupun sudah dikirimi surat teguran dan tidak mengajukan permohonan perpanjangan
e) WP melakukan kegiatan membangun sendiri.
f) WP mengajukan permohonan untuk pemusatan PPN.
2. Pemeriksaan Kriteria Seleksi, adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap WP Badan atau Orang Pribadi yang terpilih berdasarkan skor risiko tingkat kepatuhan secara komputerisasi.
3. Pemeriksaan Khusus yaitu pemeriksaan dilakukan terhadap WP sehubungan dengan adanya data, informasi, laporan atau pengduan yang berkaitan dengan WP tersebut.
4. Pemeriksaan WP Lokasi yaitu pemeriksaan dilakukan terhadap cabang, perwakilan, pabrik dan atau tempat usaha yang pada umumnya berbeda lokasinya dengan WP domisili. Pemeriksaan ini dilakukan dalam hal :
a) SPT Tahunan PPh 21 atau SPT Masa PPN Lebih Bayar
b) SPT poin 1 tidak dimasukkan 2 tahun berturut-turut atau 3 bulan berturut-turut.
c) Adanya permintaan dari unit pelaksana pemeriksa.
5. Pemeriksaan Tahun Berjalan yaitu pemeriksaan untuk jenis-jenis pajak tertentu atau seluruh jenis pajak terhadap WP domisili atau WP lokasi yang umumnya masa pajak sampai dengan Oktober.
6. Pemeriksaan Bukti Permulaan yaitu pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Bukti Permulaan adalah keadaan dan atau bukti-bukti, baik berupa keterangan, tulisan, perbuatan atau benda-benda yang dapat memberikan petunjuk bahwa suatu tindak pidana sedang atau telah terjadi, dilakukan oleh Wajib Pajak yang dapat menimbulkan kerugian pada negara
7. Pemeriksaan Terintegrasi yaitu pemeriksaan dilakukan secara terkoordinasi dari dua atau lebih unit pelaksana peme-riksaan pajak terhadap beberapa WP yang memiliki hubungan kepemilikan, pengusaan, pengelolaan usaha, dan atau hubungan finansial.
8. Pemeriksaan Tujuan Penagihan Pajak yaitu pemeriksaan dilakukan untuk mendapatkan data mengenai harta WP atau penanggung pajak yang dapat merupakan objek sita sehubungan dengan adanya tunggakan pajak
9. Pemeriksaan terhadap WP Pindah Lokasi. Pemeriksaan dilakukan antara lain untuk melihat kepatuhan WP pada KPP lama atau adanya perubahan status.
10. Pemeriksaan Ulang. Pemeriksaan ini antara lain disebabkan terdapatnya data baru yang semula belum terungkap yang dapat mengakibatkan penambahan jumlah pajak terhutang.
11. Pemeriksaan Pajak dan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. Pemeriksaan dilakukan terhadap WP dengan kriteria tertentu.
12. Pemeriksaan WP pada KPP WP Besar. Pemeriksaan dapat dilakukan setiap tahun dengan ruang lingkup pemeriksaan PL, PSL, dan PSK.

C. RUANG LINGKUP PEMERIKSAAN

Ruang lingkup atau cakupan pemeriksaan terdiri dari pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor. Pemeriksaan Lapangan yaitu pemeriksaan yang dilakukan di tempat WP yang dapat mencakup kantor, pabrik, tempat usaha, tempat tinggal, dan tempat lain yang ada kaitannya dengan kegiatan usaha. Pemeriksaan lapangan dapat dibedakan:
a. Pemeriksaan Lengkap (PL)
a) Dilakukan terhadap WP, termasuk kerjasama operasi (KSO) dan konsorsium atas seluruh jenis pajak untuk tahun berjalan atau tahun-tahun sebelumnya untuk mencapai tujuan pemeriksaan
b) Dilakukan dalam jangka waktu 2 bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 bulan.
b. Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL)
a) Pemeriksaan dilakukan terhadap WP untuk satu, beberapa atau seluruh jenis pajak secara terkoordinasi antarseksi oleh Kepala Kantor dalam tahun berjalan
b) atau tahun-tahun sebelumnya.
c) Dilakukan dalam 1 bulan dan dapat diperpanjang paling lama 2 bulan

Sedangkan pemeriksaan kantor yaitu pemeriksaan yang dilakukan di kantor unit pelaksana pemeriksaan pajak, dapat meliputi suatu jenis pajak tertentu, baik untuk tahun berjalan maupun tahun-tahun sebelumnya.
a. Pemeriksaan hanya dapat dilakukan dengan Pemeriksaan Sederhana Kantor (PSK)
b. Jangka waktu penyelesaian 4 bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 bulan.

D. NORMA PEMERIKSAAN

Ada empat (4) norma yang berkaitan di dalam pemeriksaan pajak, yaitu:
1. Norma Pemeriksaan yang berkaitan dengan Pemeriksa Pajak dalam Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan, antara lain :
a) Pemeriksa pajak harus memiliki tanda pengenal dan dilengkapi dengan surat perintah pemeriksaan.
b) Pemeriksa wajib memberitahukan secara tertulis tentang akan dilakukannya pemeriksaan.
c) Pemeriksa wajib memperlihatkan tanda pengenal dan surat perintah tersebut di atas. Pemeriksa wajib menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan.
d) Hasil pemeriksaan dituangkan ke dalam kertas kerja pemeriksaan (KKP).
e) Pemeriksa pajak wajib membuat Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP) berdasarkan KKP. Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP) adalah laporan tentang hasil pemeriksaan yang disusun oleh pemeriksa pajak secara ringkas dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan pemeriksaan.

2. Norma Pemeriksaan yang berkaitan dengan Pemeriksa Pajak dalam Rangka Pemeriksaan Kantor, antara lain :
a) Pemeriksa pajak dengan menggunakan surat panggilan yang ditanda-tangani oleh pejabat yang berwenang.
b) Pemeriksa wajib memberitahukan maksud dan tujuan pemeriksaan.
c) Hasil pemeriksaan dituangkan ke dalam KKP.
d) Pemeriksa wajib membuat LPP berdasarkan KKP.
e) Pemeriksa wajib memberitahukan secara tertulis mengenai hasil pemeriksaan.
f) Pemeriksa wajib memberi petunjuk mengenai penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan.

3. Norma Pemeriksaan yang berkaitan dengan Wajib Pajak, antara lain :
a) WP berhak meminta kepada pemeriksa untuk memperlihatkan tanda pengenal dan surat perintah pemeriksaan.
b) Berhak meminta penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan.
c) WP wajib memenuhi panggilan untuk datang menghadiri pemeriksaan.
d) WP wajib memenuhi permintaan peminjaman buku-buku, catatan dsb.
e) WP berhak meminta rincian yang berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan SPT.
f) WP atau kuasanya wajib menandatangani surat pernyataan persetujuan apabila WP menyetujui seluruh hasil pemeriksaan.

4. Norma Pemeriksaan yang berkaitan dengan Pelaksanaan Pemeriksaan, antara lain :
a) Pemeriksaan dapat dilakukan oleh seorang atau lebih pemeriksa pajak.
b) Pemeriksaan dilaksanakan di Kantor Ditjen Pajak, di kantor WP, di kantor lainnya dsb atau di tempat lain yang ditentukan oleh Ditjen Pajak.
c) Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja, apabila dipandang perlu dapat dilanjutkan di luar jam kerja.
d) Hasil pemeriksaan dituangkan dalam KKP.
e) Laporan pemeriksaan pajak disusun berdasarkan KKP.
f) Hasil pemeriksaan lapangan yang seluruhnya disetujui WP atau kuasanya, dibuatkan surat pernyataan tentang persetujuan dan ditanda-tangani oleh WP.
g) Berdasarkan laporan pemeriksaan pajak, diterbitkan surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak, kecuali pemeriksaan dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.

E. TEKNIK PEMERIKSAAN PAJAK

Penting bagi si pemeriksa pajak untuk memahami teknik-teknik dalam pemeriksaan. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan dapat terbukti dengan baik dan benar. Ada beberapa teknik dalam melakukan pemeriksaan pajak, yaitu:
1. Melakukan Evaluasi khususnya terhadap kebenaran formal SPT mengenai informasi umum kegiatan usaha, kelengkapan SPT beserta lampiran-lampirannya dan juga Sistem pengendalian intern untuk pemisahan fungsi rangkap (penentuan apakah terdapat duplikasi/multi fungsi pada satu/beberapa orang)
2. Analisis Angka-angka
• SPT vs Laporan keuangan
• Perbandingan beberapa tahun terakhir (komparasi antarwaktu)
• Perbandingan dengan standar yang berlaku (komparasi di dalam perusahaan sendiri atau dengan perusahaan lain yang sejenis)
• Rasio (nisbah) biaya terhadap penjualan, produksi, dll
3. Melacak dan Memeriksa Dokumen
• Dokumen intern & ekstern (bila pengendalian intern sudah baik, tidak perlu dilakukan pelacakan & pemeriksaan atas dokumen intern)
• Pihak yang menerbitkan dokumen
• Keabsahan dokumen (vouching)
• Proses dokumen
4. Pengujian Kaitan (Re-test atas proses dokumen)
• Dokumen dasar. Contoh: faktur penjualan (commercial/pajak)  DO (delivery order) yang merupakan bukti pengiriman barang.
• Arus barang. Rumusnya adalah persediaan awal ditambah pembelian dikurangi persediaan akhir lalu dicocokkan dengan buku penjualan.
• Arus uang. Rumusnya adalah saldo awal kas/bank + penerimaan – pengeluaran = saldo akhir atau saldo akhir + pengeluaran – saldo awal = penerimaan. Lalu dicocokkan antara cash opname dengan buku kas.
• Arus utang-piutang. Untuk utang akan diuji kaitannya dengan pembelian kredit. Rumusnya adalah saldo akhir utang + pelunasan utang – saldo awal utang = pembelian kredit. Sedangkan untuk piutang akan diuji kaitannya dengan penjualan kredit. Rumusnya adalah saldo akhir piutang + penerimaan piutang – saldo awal piutang = penjualan kredit
5. Pengujian atas Mutasi Setelah Tanggal Neraca
Penekanan terhadap pos-pos yang sangat relevan dengan kelengkapan penjualan & pembelian  utang-piutang
6. Pemanfaatan Informasi dari Pihak Ketiga
• Hasil pemeriksaan pajak WP lain
• Data dari berbagai instansi pemerintah, BUMN/BUMD
• Pihak ketiga lainnya : WP lain dan pengaduan masyarakat
7. Pengujian Fisik
• Barang dagang  stock opname
• Kas  cash opname
• Inventaris/aktiva tetap  untuk mendeteksi apakah ada pencatatan fiktif/ganda, terutama untuk perusahaan group
8. Peninjauan ke Tempat-tempat Produksi, Penyimpanan, dan Penjualan
Untuk mengetahui proses produksi, uji atas metode penilaian persediaan barang dagang, dan mengetahui arus barang
9. Rekonsiliasi
Adalah upaya mencocokkan angka-angka dari 2 (dua) atau lebih sumber yang terpisah mengenai hal yang sama. Contoh :
• Penjualan  antara pencatatan pembukuan penjualan dengan SPT Masa PPN
• Biaya karyawan  antara pencatatan pembukuan (audit report) dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21
• Rekonsiliasi bank  antara saldo rekening koran dengan buku kas/bank perusahaan
10. Konfirmasi
• Upaya mendapatkan keterangan dari pihak ketiga untuk meyakinkan kebenaran atau keabsahan data atau informasi dari WP yang diperiksa melalui korespondensi (surat, facsimile atau bukti tertulis lain)
• Melakukan pemeriksaan keterkaitan terhadap pihak ketiga yang berhubungan dengan WP yang sedang diperiksa (dimintakan kepada Instansi pemeriksa pajak)
11. Sampling
• Pengujian sebagian bukti-bukti yang dipilih berdasarkan metode tertentu (statistical & non statitistical sampling) dan representative (mewakili)
• Perencanaan. Dalam penentuan sampel harus dilihat hubungan antar sampel yang akan dipilih dengan tujuan pemeriksaan
• Seleksi. Sampel yang dipilih harus dapat mewakili populasi
• Tujuan. Untuk menghemat waktu & tenaga dalam menentukan sampai sejauh mana penyimpangan/deviasi dapat ditolerir
• Pemakaian teknik sampling, dapat ditentukan oleh pemeriksa
12. Pemeriksaan WP yang pembukuannya menggunakan sistem komputer
• Tanpa menggunakan computer (audit around the computer)
Contoh : pemeriksaan dokumen konvensional untuk faktur pajak dibandingkan dengan output komputer
• Menggunakan computer (audit through the computer)

F. METODE PEMERIKSAAN PAJAK

Ada 2 metode dalam pemeriksaan pajak yaitu metode langsung dan tidak langsung.
1. Metode langsung
Pengujian kebenaran/validitas angka-angka SPT secara langsung terhadap :
• Laporan keuangan
• Sistem akuntansi/pembukuan (catatan, jurnal, buku besar/ledger/trial balance, dsb)
• Dokumen-dokumen pendukung pencatatan

2. Metode tidak langsung
Pengujian kebenaran/validitas angka-angka SPT secara tidak langsung melalui perhitungan tertentu, antara lain:
• Digunakan untuk melengkapi metode metode langsung, apabila metode langsung tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan. Indikatornya antara lain :
- Pembukuan/catatan WP tidak lengkap/tidak dipercaya kebenarannya
- Buku/catatan/dokumen pendukung tidak ada/hilang
- Diketemukan ketidakberesan dalam pembukuan/catatan WP (pengendalian intern lemah)
- Antara penghasilan dengan pengeluaran pribadi tidak serasi
- WP memilih untuk menggunakan norma penghitungan
• Hasil perhitungan metode tidak langsung merupakan petunjuk awal (sehingga masih perlu dilakukan pembuktian secukupnya untuk dapat mengambil kesimpulan) ketidakbenaran angka-angka dalam SPT

Metode tidak langsung dibagi lagi menjadi beberapa jenis, yaitu
a. Metode transaksi tunai
1. Landasan/dasar pemakaian metode ini adalah perkiraan kas secara sederhana :
• Debet  semua penerimaan
• Kredit  seluruh pengeluaran
Catatan: Didalam penerimaan & pengeluaran tsb, termasuk yang bukan obyek pajak dan pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan
2. Sumber data :
• SPT
• Buku kas/buku bank
• Salinan rekening koran
• Hasil wawancara (tanya-jawab) dengan WP
3. Informasi lain yang perlu diperoleh :
• Pinjaman : bank, relasi dagang, afiliasi, lainnya
• Pengeluaran yang bersifat pribadi
• Pemilikan harta
• Jumlah tanggungan keluarga
4. Hasil perhitungan :
• Jika jumlah kredit lebih besar daripada jumlah debet maka ada indikasi WP tidak melaporkan penghasilan yang sebenarnya
• Jika jumlah debet lebih besar daripada jumlah kredit maka perlu penelitian yang lebih seksama karena kemungkinan WP tidak melaporkan seluruh pengeluarannya (khususnya yang memiliki implikasi pemotongan/pemungutan pajak)
5. Untuk keperluan Perhitungan PKP :
• Penghasilan yang bukan obyek pajak akan dikurangkan
• Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan akan ditambahkan
6. Saldo awal/akhir piutang & utang akan dimasukkan dalam perkiraan kas (dalam hal WP menggunakan sistem pembukuan akrual basis) :
• Piutang merupakan sumber uang tunai. Saldo awal dicatat di debet & saldo akhir dicatat di kredit
• Utang merupakan kewajiban. Saldo awal dicatat dikredit (akan menjadi pengeluaran) & saldo akhir dicatat didebet (karena merupakan pengeluaran yang ditunda)
b. Metode transaksi bank
1. Dasar Pemakaian :
• Jika sebagian besar penerimaan dan pengeluarannya melalui bank
• Tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan
2. Formula perhitungan :
Jumlah semua setoran ke bank = A
Setoran yang bukan obyek pajak = B
Setoran yang merupakan obyek pajak C = A-B
Peneriman yang tidak disetorkan ke Bank = D
Peredaran usaha/penerimaan bruto seharusnya E = C+D
Peredaran usaha/penerimaan bruto menurut SPT = F
Koreksi peredaran usaha (yang tidak dilaporkan) G = E-F
3. Sumber data: Semua rekening bank, baik atas nama pribadi maupun atas nama badan usahanya
c. Metode sumber dan penggunaan dana
1. Mekanisme: Debet merupakan sumber dana sedangkan kredit merupakan penggunaan dana
2. Sumber dana, terdiri dari :
• Penurunan dalam pos-pos harta
• Kenaikan pos-pos utang
• Penghasilan baik yang menjadi obyek pajak maupun yang
• bukan obyek pajak
• Biaya-biaya yang tidak memerlukan penggunaan uang
• kas/bank  penyusutan/amortisasi
• Kompensasi kerugian tahun lalu
3. Penggunaan dana, terdiri dari :
• Kenaikan dalam pos-pos harta
• Penurunan pos-pos utang
• Pengeluaran pribadi
• Kerugian dari penjualan aktiva tetap
d. Metode perbandingan kekayaan bersih
1. Persamaan Akuntansi: Harta – Utang = Kekayaan Bersih
2. Formula perhitungan :
Kekayaan bersih akhir tahun = A
Kekayaan bersih awal tahun = B
Selisih kekayaan bersih C = A-B
Biaya yang tidak boleh dikurangkan = D
Penghasilan yang bukan obyek pajak = E
Penghasilan yang merupakan obyek pajak F = C+D-E
3. Baik harta maupun utang, tidak ada yang fiktif atau yang ditinggikan nilainya
4. Harta dan utang milik/kewajiban pribadi masuk dalam perhitungan (bagi WPOP)
5. Baik kenaikan maupun penurunan kekayaan bersih, harus diteliti sebab-sebabnya
e. Metode perhitungan prosentase
Perbandingan angka-angka prosentase dengan prosentase pada perusahaan sejenis berdasarkan :
• Publikasi komersial
• Hasil pemeriksaan pada perusahaan sejenis
• Data-data tahun-tahun sebelumnya yang ada pada perusahaan itu sendiri
Indikator yang dapat dijadikan bahan perbandingan :
• Jenis komoditinya sejenis
• Besarnya kegiatan usaha relatif sama
• Letak usaha
• Masa (tahun) yang diperiksa
• Kebijaksanaan perdagangan umum
f. Metode satuan dan volume
1. Digunakan dalam hal:
• Jenis komoditi yang diusahakan terbatas
• Harga relatif stabil sepanjang tahun
• Umumnya dilakukan untuk perusahaan perdagangan & industri (kurang lazim diterapkan atas perusahaan jasa)
2. Contoh penerapan:
• Peredaran usaha menurut SPT = Rp 120.000.000,-
• Laba kotor menurut SPT = Rp 12.000.000,-
• Rasio laba kotor terhadap peredaran usaha = 10%
Data tersedia:
• Komoditi yang terjual sebanyak 150 satuan
• Harga jual rata-rata setiap komoditi @ Rp 1.250.000,-
Perhitungan kembali:
• Peredaran usaha = 150 X Rp 1.250.000,- = Rp 187.500.000,-
• Laba kotor = 10% x Rp 187.500.000,- = Rp 18.750.000,-
g. Metode pendekatan produksi
1. Inti: Penghitungan jumlah produk atau barang yang dapat diproduksi berdasarkan kapasitas yang tersedia atau terpasang dan/atau rendemen setelah memperhitungkan persediaan awal
2. Biasanya diterapkan terhadap perusahaan pabrikasi/manufaktur/industri
h. Pendekatan biaya hidup
1. Diterapkan terhadap WP OP yaitu untuk menguji kewajaran jumlah penghasilan yang dilaporkan dalam SPT dibandingkan dengan biaya hidupnya
2. Rumusnya adalah: Penghasilan neto dikurangi dengan PPh terutang (dengan memperhitungkan PTKP dan sumber penerimaan lainnya yang bukan obyek pajak atau yang telah dipungut PPh yang bersifat final) lalu dikurangi dengan pengeluaran biaya hidup. Hasilnya merupakan koreksi penghasilan (dianggap penghasilan yang belum dilaporkan)
3. Faktor yang perlu diperhatikan dalam penentuan jumlah biaya hidup yang wajar adalah jumlah tanggungan WP, pola dan gaya hidup WP dan keadaan tempat tinggal WP. Hal-hal lain yang dianggap mempengaruhi besarnya biaya hidup (misalnya: kebijakan pemerintah atas patokan minimal biaya hidup untuk masing-masing daerah









































Pasal-pasal dalam UU No 28 tahun 2000 KUP yang mengatur tentang Pemeriksaan Pajak

Pasal 29 KUP

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
(3) Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan member bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau memberikan keterangan lain yang diperlukan.
(3a) Buku, catatan dan dokumen, serta data, informasi dan keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan.
(3b) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sehingga
(4) tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak tersebut dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
(5) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Pasal 30 KUP

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b.
(2) Tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 31 KUP

(1) Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diantaranya mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
(3) Apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) sehingga penghitungan penghasilan kena pajak dilakukan secara jabatan, Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 199/PMK.03/2007

Pasal 1

Serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam
rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.

Pasal 2

Direktur Jenderal Pajak berwenang :
• melakukan Pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiba perpajakan dan/atau
• untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 3

(1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak dalam tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.
(2) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak harus dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengajukan Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP.
(3) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dapat dilakukan dalam hal Wajib Pajak:
a. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak;
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi;
c. tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Surat Teguran;
d. melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;atau
e. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang memenuhi criteria seleksi berdasarkan hasil analisis risiko (risk based selection) mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang tidak dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.

Pasal 4

(1) Terhadap Wajib Pajak dengan kriteria :
a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak harus dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengajukan Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP.
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.

(2) Terhadap Wajib Pajak dengan kriteria :
a. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi;
b. tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Surat Teguran;
c. melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; atau
d. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil analisis risiko (risk based selection) mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang tidak dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 5

(1) Pemeriksaan Kantor paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 6 (enam) bulan yang dihitung sejak tgl Wajib Pajak datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor s.d. tgl Laporan Hasil Pemeriksaan.
(2) Pemeriksaan Lapangan paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan dihitung sejak tgl Surat Perintah Pemeriksaan s.d. tgl Laporan Hasil Pemeriksaan.
(3) Apabila dalam Pemeriksaan Lapangan ditemukan indikasi transaksi yang terkait dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan, Pemeriksaan Lapangan dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
(4) Dalam hal Pemeriksaan dilakukan berdasarkan kriteria Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, maka jangka waktu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), & ayat (3), harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.


Pasal 7

(1) Standar umum Pemeriksaan merupakan standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan Pemeriksa Pajak dan mutu pekerjaannya.
(2) Pemeriksaan dilaksanakan oleh Pemeriksa Pajak yang :
a. telah mendapat pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak, dan menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama;
b. jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa mengutamakan kepentingan negara; dan
c. taat terhadap berbagai ketentuan peraturan perundangundangan, termasuk taat terhadap batasan waktu yang ditetapkan.
(3) Dalam hal diperlukan, Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan oleh tenaga ahli dari luar Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pajak

Pajak adalah sumber pendapatan negara yang paling utama dalam menjalankan roda pemerintahan.