Kamis, 04 Agustus 2011

“OPTIMALISASI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DALAM RANGKA MENINGKATKAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH”

“OPTIMALISASI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DALAM RANGKA MENINGKATKAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH”

1. PENDAHULUAN
Pelaksanaan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dikenal sebagai era otonomi daerah.
Dalam era otonomi daerah sekarang ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuannya antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), selain untuk menciptakan persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi. Sejalan dengan kewenangan tersebut, Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah disertai pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D) ke daerah dalam jumlah besar. Sementara, sejauh ini dana perimbangan yang merupakan transfer keuangan oleh pusat kepada daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, meskipun jumlahnya relatif memadai yakni sekurang-kurangnya sebesar 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN, namun, daerah harus lebih kreatif dalam meningkatkan PADnya untuk meningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalam pembelanjaan APBD-nya. Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal, namun tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya adalah pajak daerah dan retribusi daerah yang memang telah sejak lama menjadi unsur PAD yang utama.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi, Pemerintah melakukan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah, diharapkan dapat lebih mendorong Pemerintah Daerah terus berupaya untuk mengoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah.
Walaupun baru satu tahun diberlakukannya Otonomi Daerah sebagaimana diamanatkan dalam UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 serta peraturan perundang-undangan pendukung lainnya, berbagai macam respon timbul dari daerah-daerah. Diantaranya ialah bahwa pemberian keleluasaan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah untuk meningkatkan PAD melalui pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 telah memperlihatkan hasil yang menggembirakan yaitu sejumlah daerah berhasil mencapai peningkatan PAD-nya secara signifikan. Namun, kreativitas Pemerintah Daerah yang berlebihan dan tak terkontrol dalam memungut pajak daerah dan retribusi daerah, akan menimbulkan dampak yang merugikan bagi masyarakat dan dunia usaha, yang pada gilirannya menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Oleh karena itu UU No.34 Tahun 2000 tetap memberikan batasan kriteria pajak daerah dan retribusi yang dapat dipungut oleh Pemerintah Daerah.
2. PRINSIP DAN KRITERIA PERPAJAKAN DAERAH
Kebijakan pungutan pajak daerah berdasarkan Perda, diupayakan tidak berbenturan dengan pungutan pusat (pajak maupun bea dan cukai), karena hal tersebut akan menimbulkan duplikasi pungutan yang pada akhirnya akan mendistorsi kegiatan perekonomian. Hal tersebut sebetulnya sudah diantisipasi dalam UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana diubah dengan UU No.34 Tahun 2000, dimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (4) yang antara lain menyatakan bahwa objek pajak daerah bukan merupakan objek pajak pusat.
Sementara itu, apabila kita perhatikan sistem perpajakan yang dianut oleh banyak negara di dunia, maka prinsip-prinsip umum perpajakan daerah yang baik pada umumnya tetap sama, yaitu harus memenuhi kriteria umum tentang perpajakan daerah sebagai berikut:
• prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat mudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.
• adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.
• administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan bagi si wajib pajak.
• secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak.
• Non-distorsi terhadap perekonomian : implikasi pajak atau pungutan yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarnya setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik bagi konsumen maupun produsen. Jangan sampai suatu pajak atau pungutan menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan, sehingga akan merugikan masyarakat secara menyeluruh (dead-weight loss).
Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri dimaksud, khususnya yang terjadi di banyak negara sedang berkembang, adalah sebagai berikut:
• pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.
• relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam.
• tax basenya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka pemberian kewenangan untuk mengadakan pemungutan pajak selain mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum, seyogyanya, juga harus mempertimbangkan ketepatan suatu pajak sebagai pajak daerah. Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi.
Untuk itu, Pemerintah Daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap “menempatkan” sesuai dengan fungsinya. Adapun fungsi pajak dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu : fungsi budgeter dan fungsi regulator. Fungsi budgeter yaitu bila pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Sementara, fungsi regulator yaitu bila pajak dipergunakan sebagai alat mengatur untuk mencapai tujuan, misalnya : pajak minuman keras dimaksudkan agar rakyat menghindari atau mengurangi konsumsi minuman keras, pajak ekspor dimaksudkan untuk mengekang pertumbuhan ekspor komoditi tertentu dalam rangka menghindari kelangkaan produk tersebut di dalam negeri.
Menurut Teresa Ter-Minassian (1997)3, beberapa kriteria dan pertimbangan yang diperlukan dalam pemberian kewenangan perpajakan kepada tingkat Pemerintahan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota, yaitu :
1) Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan cocok untuk tujuan distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat.
2) Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu “mobile”. Pajak daerah yang sangat “mobile” akan mendorong pembayar pajak merelokasi usahanya dari daerah yang beban pajaknya tinggi ke daerah yang beban pajaknya rendah. Sebaliknya, basis pajak yang tidak terlalu “mobile” akan mempermudah daerah untuk menetapkan tarip pajak yang berbeda sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat. Untuk alasan ini pajak komsumsi di banyak negara yang diserahkan kepada daerah hanya karena pertimbangan wilayah daerah yang cukup luas (seperti propinsi di Canada). Dengan demikian, basis pajak yang “mobile” merupakan persyaratan utama untuk mempertahankan di tingkat pemerintah yang lebih tinggi (Pusat/Propinsi).
3) Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah, seharusnya diserahkan kepada Pemerintah Pusat.
4) Pajak daerah seharusnya “visible”, dalam arti bahwa pajak seharusnya jelas bagi pembayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak terutang dapat dengan mudah dihitung sehingga dapat mendorong akuntabilitas daerah.
5) Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah lain, karena akan memperlemah hubungan antar pembayar pajak dengan pelayanan yang diterima (pajak adalah fungsi dari pelayanan).
6) Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang memadai untuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil penerimaan, idealnya, harus elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak terlalu berfluktuasi.
7) Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah diadministrasikan atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi secara ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data, seperti identifikasi jumlah pembayar pajak, penegakkan hukum (law-enforcement) dan komputerisasi.
8) Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secukupnya pada semua tingkat pemerintahan, namun penyerahan kewenangan pemungutannya kepada daerah akan tepat sepanjang manfaatnya dapat dilokalisir bagi pembayar pajak lokal.






3. KETENTUAN MENGENAI PUNGUTAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
Pengaturan kewenangan pengenaan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam UU No.18 Tahun 1997 selama ini dianggap kurang memberikan peluang kepada daerah untuk mengadakan pungutan baru. Walaupun dalam UU tersebut sebenarnya memberikan kewenangan kepada daerah namun harus ditetapkan dengan PP. Sehingga pada waktu UU No. 18 Tahun 1997 berlaku belum ada satupun daerah yang mengusulkan pungutan baru karena dianggap hal tersebut sulit dilakukan. Selain itu, pengaturan agar Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus mendapat pengesahan dari Pusat juga dianggap telah mengurangi otonomi daerah. Dengan diubahnya UU No.18 Tahun 1997 menjadi UU No.34 Tahun 2000, diharapkan pajak daerah dan retribusi daerah akan menjadi salah satu PAD yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Dalam UU No.34 Tahun 2000 dan PP pendukungnya, yaitu PP No.65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No.66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah menjelaskan perbedaan antara jenis pajak daerah yang dipungut oleh Propinsi dan jenis pajak yang dipungut oleh Kabupaten/Kota. Pajak Propinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (PKB & KAA); (ii) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (BBNKB & KAA); (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB); (iv) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT & AP). Jenis Pajak Propinsi bersifat limitatif yang berarti Propinsi tidak dapat memungut pajak lain selain yang telah ditetapkan, dan hanya dapat menambah jenis retribusi lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam UU. Adanya pembatasan jenis pajak yang dapat dipungut oleh Propinsi terkait dengan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom yang terbatas yang hanya meliputi kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas daerah Kabupaten/Kota dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah Kabupaten/Kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu. Namun demikian, dalam pelaksanaannya Propinsi dapat tidak memungut jenis pajak yang telah ditetapkan tersebut jika dipandang hasilnya kurang memadai. Berkaitan dengan besarnya tarif, berlaku definitif untuk Pajak Propinsi yang ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia dan diatur dalam PP No.65 Tahun 2001.
Sementara itu, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk memungut 7 (tujuh) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak Hotel; (ii) Pajak Restoran;
.(iii) Pajak Hiburan; (iv) Pajak Reklame; (v) Pajak Penerangan Jalan; (vi) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; (vii) Pajak Parkir. Jenis pajak Kabupaten/Kota tidak bersifat limitatif, artinya Kabupaten/Kota diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang ditetapkan secara eksplisit dalam UU No.34 Tahun 2000, dengan menetapkan sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik dengan memperhatikan kriteria yang ditetapkan dalam UU tersebut. Kriteria dimaksud adalah :
a. Bersifat pajak dan bukan retribusi;
b. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan;
c. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum;
d. Objek pajak bukan merupakan objek pajak Propinsi dan/atau objek pajak
Pusat;
e. Potensinya memadai;
f. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
g. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan
h. Menjaga kelestarian lingkungan.
Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk Pajak Kabupaten/Kota ditetapkan
dengan Peraturan Daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum yang telah ditentukan dalam UU tersebut. Dengan adanya pemisahan jenis pajak yang dipungut oleh Propinsi dan yang dipungut oleh Kabupaten/Kota diharapkan tidak adanya pengenaan pajak berganda.
Dalam rangka pengawasan, Perda-perda tentang pajak dan retribusi yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah harus disampaikan kepada Pemerintah Pusat paling lambat 15 (lima belas) hari sejak ditetapkan. Dalam hal Perda-perda dimaksud bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan dapat membatalkan perda dimaksud dalam kurun waktu 1 (satu) bulan sejak diterimanya peraturan dimaksud. Ketentuan-ketentuan tersebut diatur dalam pasal 5A dan pasal 25A UU No 34 Tahun 2000 juncto Pasal 80 ayat (2) PP No.65 Tahun 2001 dan Pasal 17 ayat (2) PP No.66 Tahun 2001. Namun demikian, walaupun Perda-perda tersebut sudah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung (MA) segera setelah mengajukannya kepada Pemerintah berdasarkan pasal 114 ayat (4) UU No.22 Tahun 1999.
4. PERANAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DALAM MENDUKUNG PEMBIAYAAN DAERAH
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh Daerah pada umumnya dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah, yang merupakan salah satu komponen dari PAD, adalah belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan.
Untuk mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah, tampaknya pungutan pajak dan retribusi daerah masih belum dapat diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi. Keadaan ini diperlihatkan dalam suatu studi yang dilakukan oleh LPEM-UI bekerjasama dengan Clean Urban Project, RTI4
• Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah
Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 daerah Kabupaten/Kota dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Namun, melihat kriteria pengadaan pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan Pajak Pusat dan Pajak Propinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah dan terbatas, serta sifatnya bervariasi antar daerah. Rendahnya basis pajak ini bagi sementara daerah berarti memperkecil kemampuan manuver keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi.
• Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah
Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan Pusat. Dari segi upaya pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi “usaha” daerah dalam pemungutan PAD-nya, dan lebih mengandalkan kemampuan “negosiasi” daerah terhadap Pusat untuk memperoleh tambahan bantuan.
• Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah
Hal ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat buoyancy yang rendah. Salah satu sebabnya adalah diterapkan sistem “target” dalam pungutan daerah. Sebagai akibatnya, beberapa daerah lebih condong memenuhi target tersebut, walaupun dari sisi pertumbuhan ekonomi sebenarnya pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target yang ditetapkan.
• Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah
Hal ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah.
Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian besar daerah Propinsi hanya dapat membiayai kebutuhan pengeluarannya kurang dari 10%5. Variasi dalam penerimaan ini diperparah lagi dengan sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan pada daerah penghasil sehingga hanya menguntungkan daerah tertentu). Demikian pula, distribusi pajak antar daerah juga sangat timpang karena basis pajak antar daerah sangat bervariasi (ratio PAD tertinggi dengan terendah mencapai 600). Peranan pajak dan retribusi daerah dalam pembiayaan yang sangat rendah dan bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat, sehingga mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi.
Tidak signifikannya peran PAD dalam anggaran daerah tidak lepas dari ‘sistem tax assignment’ di Indonesia yang masih memberikan kewenangan penuh kepada Pemerintah Pusat untuk mengumpulkan pajak-pajak potensial (yang tentunya dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu), seperti : pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan bea masuk. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa distribusi kewenangan perpajakan antara daerah dan pusat sangat timpang, yaitu jumlah penerimaan pajak yang dipungut oleh daerah hanya sebesar 3,39% dari total penerimaan pajak (Pajak Pusat dan Pajak Daerah) – lihat Tabel-1. Ketimpangan dalam penguasaaan sumbersumber penerimaan pajak tersebut memberikan petunjuk bahwa perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia dari sisi revenue assignment masih terlalu ”sentralistis”.
5. OPTIMALISASI PUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH DALAM RANGKA MENINGKATKAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH
Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi yaitu terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan Pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD khususnya pajak dan retribusi daerah harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.
Berkaitan dengan hal tersebut, optimalisasi sumber-sumber PAD perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Untuk itu diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan. Dalam jangka pendek kegiatan yang paling mudah dan dapat segera dilakukan adalah dengan melakukan intensifikasi terhadap obyek atau sumber pendapatan daerah yang sudah ada terutama melalui pemanfaatan teknologi informasi. Dengan melakukan efektivitas dan efisiensi sumber atau obyek pendapatan daerah, maka akan meningkatkan produktivitas PAD tanpa harus melakukan perluasan sumber atau obyek pendapatan baru yang memerlukan studi, proses dan waktu yang panjang. Dukungan teknologi informasi secara terpadu guna mengintensifkan pajak mutlak diperlukan karena sistem pemungutan pajak yang dilaksanakan selama ini cenderung tidak optimal. Masalah ini tercermin pada sistem dan prosedur pemungutan yang masih konvensional dan masih banyaknya sistem berjalan secara parsial, sehingga besar kemungkinan informasi yang disampaikan tidak konsisten, versi data yang berbeda dan data tidak up-to-date. Permasalahan pada sistem pemungutan pajak cukup banyak, misalnya : baik dalam hal data wajib pajak/retribusi, penetapan jumlah pajak, jumlah tagihan pajak dan target pemenuhan pajak yang tidak optimal.
Secara umum, upaya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah melalui optimalisasi intensifikasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, antara lain dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
• Memperluas basis penerimaan
Tindakan yang dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang dapat dipungut oleh daerah, yang dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial, antara lain yaitu mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan jumlah pembayar pajak, memperbaiki basis data objek, memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas penerimaan dari setiap jenis pungutan.
• Memperkuat proses pemungutan
Upaya yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, yaitu antara lain mempercepat penyusunan Perda, mengubah tarif, khususnya tarif retribusi dan peningkatan SDM.
• Meningkatkan pengawasan
Hal ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan pemeriksaan secara dadakan dan berkala, memperbaiki proses pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak dan sanksi terhadap pihak fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan pelayanan yang diberikan oleh daerah.
• Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan
Tindakan yang dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki prosedur administrasi pajak melalui penyederhanaan admnistrasi pajak, meningkatkan efisiensi pemungutan dari setiap jenis pemungutan.
• Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik
Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di daerah.
Selanjutnya, ekstensifikasi perpajakan juga dapat dilakukan, yaitu melalui kebijaksanaan Pemerintah untuk memberikan kewenangan perpajakan yang lebih besar kepada daerah pada masa mendatang. Untuk itu, perlu adanya perubahan dalam sistem perpajakan Indonesia sendiri melalui sistem pembagian langsung atau beberapa basis pajak Pemerintah Pusat yang lebih tepat dipungut oleh daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada gagasan yang berkembang di kalangan para pakar internasional, akademisi maupun praktisi di bidang desentralisasi fiskal, untuk menambahkan taxing power kepada Pemerintah Daerah. Hal ini dapat dilihat dari gambaran consolidated revenues APBD dan APBN (APBD Kabupaten/Kota + Provinsi + Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN), porsi PAD hanya sebesar 5,30% dari total consolidated revenues, di lain pihak pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah sekitar 30% dari consolidated expenditures. Gambaran porsi PAD terhadap total consolidated revenues yang hanya 5,30% tersebut menunjukkan betapa sentralistisnya sisi penerimaan antara Kabupaten/Kota dan Provinsi di satu pihak dan Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN di lain pihak. Sebagai perbandingan yang sama, masing-masing untuk developing countries, transition countries dan OECD countries rata-rata sebesar 9,27%, 16,59% dan 19,13%. Keadaan ini kurang mendukung akuntabilitas dari penggunaan anggaran daerah, dimana keterbatasan dana transfer dari Pusat untuk membiayai kebutuhan Daerah idealnya dapat ditutup oleh Daerah dengan menyesuaikan basis pajak atau tarif pajak daerahnya. Untuk itu perlu dicarikan upaya untuk meningkatkan taxing power Daerah antara lain melalui pengalihan sepenuhnya beberapa pajak Pusat kepada Daerah (artinya daerah sepenuhnya menetapkan basis pajak, tarif maupun administrasi pemungutannya), pengalihan sebagian Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) kepada Daerah dan lain-lain kebijakan sharing tax dan piggy backing system. Kabupaten/Kota perlu diberikan tambahan pendapatan dengan memberikan kewenangan penuh memungut pajak sampai dengan besaran tertentu. PBB dan BPHTB dapat dialihkan menjadi pajak Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota diberikan wewenang untuk menetapkan dasar pengenaan pajak (tax-base) dan tarif sampai dengan batas tertentu atas kedua jenis pajak tersebut, meskipun untuk sementara waktu administrasinya akan tetap dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 25/Pasal 29 Orang Pribadi yang sekarang dibagihasilkan kepada Daerah dapat dialihkan dalam bentuk Opsen atau piggy back, dimana Daerah seyogyanya diberikan kewenangan mengenakan opsen sampai dengan batas tertentu dibawah wewenang penuh Pemerintah Kabupaten/Kota. Kebijakan ini sekaligus diharapkan dapat menghilangkan upaya Daerah untuk menggali sumber-sumber PAD yang berdampak distortif terhadap perekonomian.
Tabel-1 Perbandingan Total PAD dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Terhadap Konsolidasi APBN dan APBD, Termasuk Perkiraan Transfer PBB, BPHTB, dan PPH Untuk Menjadi Pendapatan Kabupaten/Kota.6
Negara Berkembang Tahun 1990-an 9,27 13,78
Negara Transisi Tahun 1990-an 16,59 26,12
Negara-negara OECD Tahun 1990-an 19,13 32,41
Republik Indonesia TA 1989/1990 4,69 16,62
Republik Indonesia TA 1994/1995 6,11 22,97
Republik Indonesia TA 2001 5,30 27,78
Republik Indonesia TA 2001 *) 7,96 27,78

*) Berdasarkan pada perkiraan pengaruh Desentralisasi dari PBB, BPHTB dan PPh. Di lain pihak, dilihat dari sisi kewenangan yang menjadi tanggung jawab Daerah, Indonesia tergolong Negara yang melaksanakan desentralisasi dengan
6 Bank Dunia dan Nota Keuangan dan RAPBN Pemerintah Indonesia pada berbagai tahun
suatu proses yang “big-bang”. Hal ini dapat dilihat dari pergeseran expenditure assignment yang dilaksanakan oleh daerah pada tahun 1990-an sebesar 16,59% dati Total Consolidated Expenditure (APBD+APBN) meningkat menjadi 27,78% pada tahun 2001.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penyelenggaraan otonomi daerah akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila didukung dengan sumber-sumber pembiayaan yang memadai. Potensi ekonomi daerah sangat menentukan dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah bagi penyelenggaraan rumah tangganya. Namun demikian, otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan hanya semata diukur dari jumlah PAD yang dapat dicapai tetapi lebih dari itu yaitu sejauh mana pajak daerah dan retribusi daerah dapat berperan mengatur perekonomian masyarakat agar dapat bertumbuh kembang, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.
6. MODEL LEVIATHAN
Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal dari pajak daerah pada dasarnya perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu : (i) dasar pengenaan pajak dan (ii) tarif pajak. Pemerintah Daerah cenderung untuk menggunakan tarif yang tinggi agar diperoleh total penerimaan pajak daerah yang maksimal. Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoritis tidak selalu menghasilkan total penerimaan maksimum. Hal ini tergantung pada respons wajib pajak, permintaan dan penawaran barang yang dikenakan tarif pajak lebih tinggi7. Formulasi model ini dikenal sebagai Model Leviathan. Dengan asumsi bahwa biaya administrasi perpajakan dianggap tidak signifikan dan ceteris-paribus level pelayanan publik yang dibiayai dari penerimaan pajak, dan hanya kegiatan ekonomi saja yang dipengaruhi oleh besaran pajak, maka Gambar-1 di bawah ini menunjukkan hubungan antara tarif pajak proporsional atas basis pajak tertentu. Bentuk kurva (“Laffer”) yang berbentuk parabola menghadap sumbu Y (tarif pajak), menghasilkan Total Penerimaan Pajak Maksimum yang ditentukan oleh kemampuan wajib pajak untuk menghindari beban pajak baik legal maupun illegal dengan mengubah “economic behavior” dari wajib pajak. Gambar ini juga mengasumsikan bahwa penyesuaian wajib pajak terhadap pengenaan tarif pajak tertentu adalah independent terhadap jenis pajak dan tarif pajak lainnya. Model Leviathan akan mencapai total penerimaan pajak maksimum (T*) pada tarif t*. Pada tarif t*, menunjukkan bukanlah tarif tertinggi, tetapi dapat dicapai total penerimaan pajak maksimum. Pada kondisi ini dikenal sebagai Revenue Maximizing Tax Rate. Model Leviathan ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa peningkatan penerimaan pajak daerah tidak harus dicapai dengan mengenakan tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan
7 Brennan, Geoffrey dan Buchanan, James (1980), “Tax Limits and The Logic of Constitutional Restriction”, dalam “Democratic Choice and Taxation : A Theoritical and Empirical Analysis”, Hettich,W. and Winer,S.L.,Cambridge University Press,hal.20-22.
pengenaan tarif pajak yang lebih rendah dikombinasikan dengan struktur pajak yang meminimalkan penghindaran pajak dan respon harga dan kuantitas barang terhadap pengenaan pajak sedemikian rupa, maka akan dicapai Total Penerimaan Maksimum. Model Leviathan ini dapat dikembangkan untuk menganalisis hubungan lebih lanjut antara tarif dan dasar pengenaan pajak untuk mencapai Total Penerimaan Pajak Maksimal.



Gambar-1 : Model Leviathan
Tarif Pajak Daerah
7. KESIMPULAN
Sumber pembiayaan bagi daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal yaitu PAD, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah. Pajak daerah dan retribusi daerah, yang merupakan salah satu komponen PAD, seharusnya merupakan sumber penerimaan utama bagi daerah, sehingga ketergantungan daerah kepada Pemerintah Pusat (Dana Perimbangan) semakin berkurang, yang pada gilirannya daerah diharapkan akan memiliki akuntabilitas yang tinggi kepada masyarakat lokal.
Memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang kurang menguntungkan saat ini, disarankan agar pengadaan pajak dan retribusi baru perlu dipertimbangkan secara hati-hati sehingga tidak menimbulkan gejolak di masyarakat yang pada gilirannya akan mendistorsi kegiatan perekonomian daerah yang bersangkutan. Penciptaan suatu jenis pajak selain mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum juga perlu mempertimbangkan ketepatan suatu jenis pajak sebagai pajak daerah, karena pajak daerah yang baik akan mendorong peningkatan pelayanan publik yang pada gilirannya akan meningkatkan kegiatan perekonomian daerah yang bersangkutan.
Kebijaksanaan Pemerintah Daerah yang sangat tepat saat ini untuk meningkatkan penerimaan daerah dalam jangka pendek sebaiknya dititikberatkan pada intensifikasi pemungutan pajak yaitu mengoptimalkan jenisjenis pungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada.
Upaya untuk meningkatkan PAD di masa mendatang seyogyanya dilakukan melalui peningkatan taxing power antara lain melalui penyerahan beberapa pajak Pusat kepada Daerah, penyerahan sebagian PNBP kepada Daerah dan lain-lain kebijakan sharing tax atau piggy backing system. Bagi Kabupaten/Kota perlu diberikan tambahan pendapatan dengan memberikan kewenangan penuh untuk memungut pajak sampai dengan besaran tertentu. Untuk itu, PBB dan BPHTB disarankan dialihkan menjadi pajak Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota diberikan wewenang untuk menetapkan dasar pengenaan pajak (tax-base) dan tarif sampai dengan batas tertentu atas kedua jenis pajak tersebut. Disamping itu disarankan adanya perubahan bagi hasil PPh Pasal 21 dan Pasal 25 dan Pasal 29 Orang Pribadi menjadi opsen atau PPh tersebut dengan tetap mempertahankan tarif efektif yang berlaku.
Penggalian sumber-sumber keuangan daerah yang berasal dari pajak daerah ditentukan oleh 2 (dua) hal, yaitu : dasar pengenaan pajak dan tarif pajak. Model Leviathan mengatakan bahwa pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi secara teoritis tidak selalu menghasilkan total penerimaan yang maksimal. Kondisi ini tergantung oleh respons wajib pajak, permintaan dan penawaran barang yang dikenakan tarif pajak lebih tinggi. Teori ini seyogyanya dapat dijadikan pertimbangan utama bagi Pemerintah Daerah dalam upaya menggali sumber-sumber keuangan yang berasal dari pajak daerah yang tidak selalu berorientasi pada pengenaan tarif yang lebih tinggi untuk mencapai total penerimaan yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Brennan,Geoffrey dan Buchanan,James(1981), “Tax Limits and The Logic of Constitutional Restriction, dalam “Democratic Choice and Taxation “ A Theoritical and Empirical Analysis”, Hettich,Walter and Winer,Stanley,L. Cambridge University Press, hal.20-22.
2. 2. LPEM Universitas Indonesia bekerjasama dengan Clean Urban Project,RTI (1999), “Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keuangan Daerah di Indonesia”, Jakarta.
3. OECD (1999): “Taxing Powers Of State and Local Government”, OECD Publication Service, France.
4. Republik Indonesia, “Undang-undang No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah”.
5. Republik Indonesia, “Undang-undang No.25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusar dan Daerah”.
6. ,Beberapa Peraturan pelaksanaan dari UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999.
7. Republik Indonesia, “Undang-undang No.34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah”.
8. Republik Indonesia, “Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2001”,.
9. Ter-Minassian,Teresa (1997), “Fiscal Federalism in Theory and Practice”, International Monetary Fund, Washington.

Tidak ada komentar: