Rabu, 07 Januari 2009

Pengertian dan Lingkup PPN

Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah salah satu cara pemerintah memungut pajak kepada warga negaranya. Target pemajakannya adalah konsumsi masyarakat. Jika di Pajak Penghasilan pemerintah memungut pajak pada tingkat “sumber penghasilan” maka pada Pajak Pertambahan Nilai memungut pajak pada tingkat “penggunaan penghasilan”. Jadi sebenarnya sama-sama memajaki penghasilan warga negara.

Dalam bahasa Inggris, jenis pajak ini disebut Value Added Tax dan biasa disingkat VAT. Value added adalah nilai yang “ditambahkan” dari bahan baku oleh produsen atau dari pembelian oleh pedagang. Walaupun demikian, penghitungannya dari total harga sebuah barang atau jasa.

Ada dua istilah yang harus dipahami untuk memahami PPN. Pertama adalah istilah pajak masukan (biasa disingkat PM). Istilah ini diperuntukan PPN yang kita bayar saat kita beli suatu barang atau jasa. Walaupun PPN tersebut dibayar kepada penjual barang atau jasa tetapi kita dapat menganggap jika PPN tersebut telah dibayar kepada kas negara. Jadi, pajak masukan merupakan kredit pajak kecuali jika UU PPN 1984 mengecualikan (biasa disebut PM yang tidak dapat dikreditkan).

Kedua adalah pajak keluaran (biasa disingkat PK). Istilah ini diperuntukkan bagi PPN yang kita pungut dari pembeli barang atau pengguna jasa. Pada saat beli barang kita bayar PPN tetapi PPN tersebut akan “diganti” oleh pembeli barang saat barang tersebut kita jual kembali. Begitu seterusnya sampai barang itu ke konsumen akhir.

PPN yang kita bayar ke kas negara adalah selisih PK dikurangi PM. Mungkin dengan contoh akan lebih jelas. Kita beli barang Rp.1000 ditambah PPN 10%. Uang yang kita keluarkan saat beli adalah Rp.1100, yaitu Rp.1000 untuk harga barang dan Rp.100 untuk PPN. Barang tersebut kemudian kita jual kembali seharga Rp.1500 ditambah PPN 10%. Uang yang kita terima saat jual barang tersebut adalah Rp.1650, yaitu Rp.1500 untuk harga barang dan Rp.150 untuk PPN. Dan PPN yang kita bayar ke kas negara atas transaksi tersebut adalah Rp.50 yaitu PK = Rp.150 dikurangi PM = Rp.100.

PPN yang kita bayar ke kas negara sebesar Rp.50 adalah 10% dari Rp.500 yaitu “pertambahan nilai” dari harga beli barang Rp.1000 dan harga jual barang Rp.1500. Dari contoh tersebut terlihat jika PPN yang kita bayar pada saat beli barang “mendapat penggantian” pada saat jual barang. Dan pajak yang kita bayar benar-benar hanya berasal dari pertambahan nilai.

Cara ini mengharuskan tidak ada pengecualian PPN dari semua tingkatan perdagangan. Jika ada satu jenis barang yang mengalami “pemutusan” sistem maka akan terjadi PPN atas PPN atau pajak berganda. Pengecualian objek PPN menyebabkan PPN menjadi komponen biaya. Pada saat dikecualikan, tidak ada lagi mekanisme PK – PM. Karena tidak ada mekanisme PK – PM masa semua harga yang kita bayar adalah nilai pembelian. Padahal pada contoh diatas, harga pembelian terdiri dari harga barang itu sendiri dan PPN.

Dua jalur itu (harga barang dan PPN) seperti rel kereta api. Dia selalu beriringan jika sistem PPN tidak putus. Jika sistem PPN putus maka rel tersebut menjadi satu, PPN menjadi biaya atau harga pokok. Contoh pengecualian objek PPN atau pemutusan mekanisme PPN adalah produk pertanian.

Produk pertanian yang dihasilkan oleh petani (saat ini) bukan objek PPN. Padahal saat beli pupuk, dia telah membayar PPN atau PM. Tetapi PM tersebut tidak dapat dikreditkan atau tidak mendapat “penggantian” saat hasil pertanian dijual. Memang pada saat jual, dia tidak memungut PPN dan tidak ada PPN yang harus dibayar ke kas negara. Tetapi petani tersebut sebenarnya telah membayar PPN sebesar 10% dari harga pupuk.

Contoh nyata yang saya temukan adalah sebuah toko yang membeli barang dengan dua macam. Barang pertama dia bayar dengan PPN. Jadi toko tersebut punya PM dari jenis barang pertama. Barang kedua dia beli tanpa PPN. Harga yang toko bayar tentu lebih murah 10% karena dia tidak bayar PPN. Karena kedua barang tersebut sebenarnya barang kena pajak atau objek PPN maka saat jual dia wajib mungut PPN dari konsumen.

Akibatnya, saat pemeriksaan diketahui jika pembelian sangat tinggi tetapi pajak masukan (PM) jauh dibawahnya. Triknya supaya PPN yang dibayar ke kas negara tidak terlalu tinggi, dia hanya melaporkan sebagian penjualan saja sebagai objek PPN. Dan pada saat pemeriksaan, kurang bayar otomatis sangat tinggi karena dia harus membayar PPN atas penjualan barang tanpa PM (ditambah sanksi).

Objek PPN diatur di Pasal 4 UU PPN 1984. Berikut ini saya kutif langsung dari undang-undangnya. “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau
f. ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.”

PPN menganut prinsip destinasi atau tujuan. Prinsip destinasi ini dapat terlihat dari Pasal 4 UU PPN 1984 diatas, yaitu [1] penyerahan dan pemanfaatan di daerah pabean, dan [2] impor. Sedangkan ekspor dicantumkan sebagai objek PPN justru mempertegas prinsip ini karena tarif ekspor adalah 0%. Tarif nol persen ini akan “melucuti” PPN yang telah dibayar di dalam negeri sehingga barang yang diekspor benar-benar bebas PPN.

Prinsip destinasi maksudnya bahwa target PPN adalah barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam negeri. Kebalikan dari prinsip destinasi adalah prinsip original atau asal, yaitu pengenaan PPN atas barang atau jasa yang “berasal” dari dalam negeri. Jika suatu negara menganut prinsip asal maka impor bukan objek PPN atau objek PPN dengan tarif 0% sedangkan ekspor dikenakan pajak dengan tarif dalam negeri (untuk Indonesia tarifnya 10%). Dengan demikian, barang yang diekspor pasti mengandung PPN.

Pemahaman prinsip destinasi akan memudahkan kita pada barang atau jasa apa saja yang merupakan objek PPN. Terlebih sekarang, PPN kita menganut negative list. Artinya, semua barang adalah barang kena pajak (objek PPN) kecuali yang dikecualikan. Dan, semua jasa adalah jasa kena pajak (objek PPN) kecuali yang dikecualikan.

Kita persempit lagi bahwa semua barang yang diserahkan di daerah pabean adalah objek PPN. Kata “diserahkah” tidak mengharuskan untuk dikonsumsi, karena jika barang tersebut diserahkan kepada produsen maka akan diolah lagi dan jika diserahkan kepada pedagang maka akan dijual kembali. Tetapi semua penyerahan di dalam negeri (daerah pabean) merupakan objek PPN. Jadi objek PPN adalah “penyerahan”.

Jika kita paham bahwa objek PPN adalah penyerahan maka barang yang sudah dijual dengan kredit tetapi piutang kita macet kemudian piutang itu dihapuskan maka penghapusan piutang tersebut tidak menghapus PPN. Begitu juga dengan penyerahan antar cabang. Dari pabrik kita sendiri, barang dagangan kita serahkan ke toko (cabang) di tempat lain berarti telah terjadi penyerahan dan objek PPN. Begitu juga dengan barang yang kita serahkan ke orang lain sebagai hadiah (pemberian cuma-cuma), dan barang yang kita konsumsi sendiri (pemakaian sendiri). Pemakaian sendiri dikenakan pajak karena kita telah bertindak sebagai konsumen akhir yang merupakan target utama PPN.

Sedangkan yang berkaitan dengan jasa maka lebih gampang jika kita perpatokan pada pemanfaatan di daerah pabean. Jasa bersifat abstrak (tidak terlihat) dan hanya satu kali penyerahan. Artinya, suatu jasa tidak dapat “dilempar” dari produsen ke distributor, terus ke agen, dan seterusnya. Jasa yang diberikan wajib pajak “A” hanya dapat diberikan ke wajib pajak “B”. Jika wajib pajak “B” juga seorang pengusaha jasa tetapi jasa yang diberikan wajib pajak “B” tentu bukan berasal dari “A”.

Siapa pun yang memberikan jasa, dan dimanapun jasa itu diberikan jika yang menikmati manfaat jasa itu berada di dalam negeri (di daerah pabean) maka wajib pajak dalam negeri tersebut wajib bayar PPN. Contoh yang gampang adalah desain bangunan. Sebuah desain konstruksi bangunan yang dibuat di luar negeri oleh orang asing (wajib pajak luar negeri) tetapi desain konstruksi bangunan tersebut dimanfaatkan (dipakai untuk bangunan) di dalam negeri maka wajib pajak dalam negeri yang membeli desain tersebut wajib pajak PPN luar negeri.

Contoh lain tentang jasa adalah jasa perbaikan mesin. Sebuah mesin dibawa ke negara Singapur untuk diperbaikan di Singapur. Apakah jasa perbaikan bersebut objek PPN? Jawaban saya adalah : jika setelah diperbaiki mesin tersebut dipergunakan di luar negeri (bukan daerah pabean) maka jasa tersebut bukan objek PPN walaupun jasa tersebut dibayar oleh wajib pajak dalam negeri. Tetapi jika setelah perbaikan mesin tersebut dipergunakan di dalam negeri (di daerah pabean) maka jasa tersebut objek PPN dan terutang PPN luar negeri.

Sekali lagi, jika kita melihat objek PPN dari prinsip destinasi, maka akan mudah untuk mengidentifikasi mana objek PPN dan mana bukan objek PPN. Barang yang kita produksi di dalam negeri tetapi dikonsumsi di luar negeri maka disebut ekspor barang. Begitu juga jasa yang kita “kerjakan” di dalam negeri tetapi dimanfaatkan di luar negeri maka harus disebut ekspor jasa. Dan sebaliknya : impor. Bisa impor barang, bisa impor jasa. Impor jasa merupakan objek PPN luar negeri.

UU PPN 1984 menganut negative list. Artinya, semua barang adalah barang kena pajak (objek PPN) kecuali yang dikecualikan. Dan, semua jasa adalah jasa kena pajak (objek PPN) kecuali yang dikecualikan. Karena itu, semua barang dan jasa selain yang disebutkan dibawah ini adalah obje PPN.

Jenis barang yang tidak dikenakan PPN adalah:
1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung
dari sumbernya, yaitu :
a. minyak mentah (crude oil );
b. gas bumi;
c. panas bumi;
d. pasir dan kerikil;
e. batubara sebelum diproses menjadi briket batubara;
f. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak;
dan
g. barang hasil pertambangan dan pengeboran lainnya yang diambil
langsung dari sumbernya.

2. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak,
yaitu:
[a]. Segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras ketan hitam atau beras ketan putih dalam bentuk:
[a.1]. Beras berkulit (padi atau gabah) selain untuk benih.
[a.2]. Digiling.
[a.3]. Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak.
[a.4]. Beras pecah.
[a.5]. Menir (groats) dari beras.

[b]. Segala jenis jagung, seperti jagung putih, jagung kuning, jagung kuning kemerahan atau popcorn (jagung brondong), dalam bentuk:
[b.1] Jagung yang telah dikupas maupun belum/jagung tongkol dan biji
jagung/jagung pipilan.
[b.2] Munir (groats)/beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk butiran.

[c]. Sagu, dalam bentuk:
[c.1] Empulur sagu.
[c.2] Tepung, tepung kasar dan bubuk dari sagu.

[d]. Segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning atau kedelai hitam dalam bentuk pecah atau utuh.

[e]. Garam baik yang berjodium maupun tidak berjodium termasuk:
[e.1] Garam meja.
[e.2] Garam dalam bentuk curah atau kemasan 50 Kg atau lebih, dengan kadar NaCL 94,7% (dry basis).

3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya (tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau usaha jasa boga);

4. uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.


Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN adalah :
1. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik, meliputi :
[1.a]. jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
[1.b]. jasa dokter hewan;
[1.c]. jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan fisioterapi;
[1.d]. jasa kebidanan dan dukun bayi;
[1.e]. jasa paramedis dan perawat; dan
[1.f]. jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium

2. Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi :
[2.a]. jasa pelayanan Panti Asuhan dan Panti Jompo;
[2.b]. jasa pemadam kebakaran kecuali yang bersifat komersial;
[2.c]. jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
[2.d]. jasa Lembaga Rehabilitasi kecuali yang bersifat komersial;
[2.e]. jasa pemakaman termasuk krematorium;
[2.f]. jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial; dan
[2.g]. jasa pelayanan sosial lainnya kecuali yang bersifat komersial.

3. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;

4. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;

5. Jasa di bidang keagamaan, meliputi :
[5.a]. jasa pelayanan rumah ibadah;
[5.b]. jasa pemberian khotbah atau dakwah; dan
[5.c]. jasa lainnya di bidang keagamaan.

6. Jasa di bidang pendidikan, meliputi:
[6.a]. jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan
pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan profesional; dan
[6.b]. jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus-kursus

7. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan;

8. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;

9. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air.

10. Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi:
[10.a]. jasa tenaga kerja;
[10.b]. jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang Pengusaha penyedia tenaga
kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut;
dan
[10.c]. jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja

11. Jasa di bidang perhotelan;

12. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum.

Tidak ada komentar: